Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveler
Sebenarnya sudah beberapa kali saya menulis tentang literasi Islam. Tradisi ini lekat karena sejalan dengan ayat pertama yang turun, “Iqra’ –bacalah.”
Namun, dua hari lalu seorang sahabat menghubungi saya dan meminta untuk menuliskan lagi dengan menyertakan data dari PISA (Programme for International Student Assesment).
PISA ini merupakan salah satu lembaga internasional yang meneliti kemampuan membaca, sains, dan matematika di negara-negara di dunia.
Sekalipun data tahun 2018, tapi menarik dan masih sangat relevan. Indonesia mendapatkan skor 371 pada kemampuan membaca. Rata-rata skor membaca secara internasional adalah 487. Jadi, kita tertinggal hampir 100 poin dibandingkan negara-negara lain.
Indonesia sekelompok dengan Maroko, Kosovo, Republik Dominika, Kazakhstan, dan Filipina. Kalau diranking, berada di peringkat 70-an ke atas. Dari total 77-79 an negara di dunia yang ikut PISA.
Angka ini tentu menyedihkan. Banyak hal yang harus dibenahi dan menuntut kerja sama semua pihak.
Penelitian lain yang dilakukan CCSU menyebutkan, negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia diraih Finlandia. Disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, US, dan Jerman. Korea Selatan berada di urutan ke-22, dan Jepang ke-32.
Literasi kini “seakan” identik dengan budaya Barat, dan "menjauh" dari negeri-negeri Muslim.
Bagaimana ceritanya sampai Barat bisa melek literasi seperti sekarang ini? Ada cerita pilu yang berkelindan antara Islam dengan kemajuan peradaban yang kini digenggam Barat.
Hal ini diungkap Stephan Roman, direktur British Council Regional Asia Selatan melalui the Development of Islamic Library Collections in Western Europe and North America.
Menurutnya, setidaknya ada ratusan ribu manuskrip Islam yang kini tersebar di 10 negara. Di antaranya, Inggris, Prancis, Jerman, Denmark, Italia, Belanda, Spanyol, Amerika Serikat dan sebagainya.
Tercatat Inggris menguasai beribu-ribu manuskrip Islam berbahasa Arab. Koleksi itu tersimpan di berbagai perpustakaan, universitas dan museum di London, Cambridge, Oxford, Birmingham, Midland, Leeds, Manchester, Glasgow, dan Edinburgh.
Ada banyak aktor dan faktor yang menyebabkan perpindahan manuskrip-manuskrip Islam ke tangan Barat. Yang paling tragis, sebagian manuskrip diperoleh lewat perampasan dan penjarahan pada masa kolonialisme.
Seperti diketahui, Prancis memiliki bekas jajahan di Mesir, Turki, dan Afrika Utara. Inggris di anak benua India dan Timur Tengah. Italia di Afrika Utara. Amerika di negara-negara Teluk. Sedangkan Jerman di negeri-negeri pecahan Daulah Utsmani.
Spanyol punya cerita yang berbeda. Kejayaan Andalusia yang pernah menguasai wilayah Spanyol, Portugis dan sebagian Prancis meninggalkan warisan manuskrip yang tak ternilai bagi negara Spanyol modern.
Sebagian manuskrip juga ada yang diperoleh melalui proses transaksi jual-beli. Sedikit di antaranya merupakan hadiah penguasa Muslim pada bangsawan Eropa.
Sedang manuskrip dari masa Daulah Utsmani, menurut Stefanie Brinkmann dari Institute of Oriental Studies, University of Leipzig, dibawa ke Eropa oleh tentara, pedagang, misionaris, administrator, penulis, dan pelancong, pada abad 17 hingga 19.
Di abad modern ini, penjarahan masih terus terjadi, seperti di Baghdad. Manuskrip-manuskrip Islam yang tak ternilai harganya dibawa ke Amerika dengan dalih untuk studi dan penelitian.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Yang pertama adalah mengembalikan tradisi literasi sebagai bagian dari keseharian.
Dua minggu lalu sewaktu ke Sangatta, Kalimantan Timur, saya sempat diundang untuk mampir ke rumah sahabat yang asri dan mempunyai perpustakaan di rumah dengan koleksi buku yang banyak. Termasuk bacaan bermutu untuk anak-anaknya.
Sambil menikmati secangkir teh madu dan pisang goreng, spontan saya menanyakan, “Berapa mahal mengirim buku-buku ini ke Sangatta?” begitu melihat terjemahan kitab “Al-Bidayah wan Nihayah” yang kalau dideretkan sampai setengah meter panjangnya dan beratnya tak kurang dari 22 kg.
Saya termasuk yang optimis. Pada keluarga-keluarga seperti inilah tradisi literasi akan kembali ke umat Islam yang menjadi penanda bangkitnya sebuah peradaban.
Yuk, kita mulai!