Senin 09 Dec 2019 07:42 WIB

DPR Pertanyakan Penghapusan Materi Khilafah-Jihad

Penghapusan materi khilafah dinilai dogmatis.

DPR pertanyakan penghapusan materi khilafah-jihad. Anggota DPR asal PAN, Yandri Susanto.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
DPR pertanyakan penghapusan materi khilafah-jihad. Anggota DPR asal PAN, Yandri Susanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, mempertanyakan kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) yang akan menghilangkan materi pembelajaran maupun ujian di madrasah yang memiliki kandungan khilafah dan perang atau jihad. Yandri menyebut pemerintah, dalam hal ini Kemenag, memiliki ketakutan luar biasa atau fobia terhadap sejarah Islam.

Yandri memastikan, Komisi VIII DPR akan mengonfirmasi secara langsung kepada Menteri Agama Fachrul Razi dan jajarannya terkait alasan mengeluarkan kebijakan tersebut. "Apa yang melatarbelakangi sehingga ada suatu yang luar biasa seperti itu, saya khawatir sepertinya pemerintah terlalu fobia dengan sejarah Islam," ujar Yandri saat dihubungi wartawan, Ahad (8/12).

Baca Juga

Yandri menyebutkan, materi khilafah, jihad, maupun perang merupakan bagian dari sejarah Islam yang tidak bisa dihapus. Ia tidak sepakat jika siswa yang belajar materi khilafah, jihad, dan perang kemudian dinilai kelak akan menjadi radikal. "Sama seperti belajar tentang sejarah PKI, masa, saya disebut PKI? Menyederhanakan persoalan itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan, justru akan mendatangkan persoalan baru," ujar politikus PAN itu.

Justru, kata Yandri, pemerintah bisa memberikan pemahaman yang benar terhadap materi tersebut lewat penyesuaian dengan ideologi dan budaya Indonesia. Dengan begitu, siswa memiliki bekal yang benar terkait materi tersebut sejak di pendidikan.

Menurut dia, pada era saat ini, materi terkait khilafah, jihad, maupun perang tidak hanya ada di kurikulum, tetapi juga bisa diakses melalui internet. "Kalau itu dihapus, mereka yang selama ini tidak ngeh dan tidak terlalu punya perhatian khusus dengan istilah itu justru bisa mengakses secara liar, dan ketika mereka tertarik tentang itu justru menjadi tantangan bagi pemerintah," ujarnya.

Oleh karena itu, Yandri meminta Kemenag berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Menurut dia, pemerintah sebaiknya mencari akar permasalahan radikalisme dan terorisme secara tuntas sebelum kemudian membuat kebijakan yang memunculkan persoalan. "Jadi, jangan memadamkan api yang kecil justru timbul api yang besar,\" kata dia.

Penghapusan materi-materi khilafah dan jihad serta sejarah peperangan dalam peradaban Islam diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Islam pada Madrasah. Beleid itu ditandantangani Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin pada akhir masa jabatannya, Agustus lalu. KMA itu yang dijadikan dasar Kementerian Agama saat ini menghapuskan seluruh materi khilafah dari kurikulum.

Dalam salinan KMA 183/2019 memang sama sekali tak terdapat kata “khilafah” maupun “jihad”. Tak ada juga kata “perang” atau yang dalam bahasa Arabnya “gazwah”. Sebaliknya, moderasi menjadi tujuan pembelajaran di berbagai tingkatan. Secara total, ada 27 kata “moderat” dalam panduan yang tebalnya hampir 500 halaman tersebut.

Dalam panduan itu, tantangan eksternal nomor satu yang bakal dihadapi para guru mata pelajaran pendidikan agama Islam adalah “semakin menguatnya paham transnasional yang berpotensi menggeser cara beragama khas Indonesia yang moderat, toleran, dan membudaya”.

Dalam panduan mata pelajaran akidah dan akhlak untuk madrasah aliyah, salah satu ruang lingkup pembelajaran adalah pemaparan soal Islam wasathiyah yang terdiri dari sikap-sikap tasamuh (toleransi), musawah (persamaan), tawasuth (moderasi), dan ukhuwah (persaudaraan). Dalam mata pelajaran itu juga diajarkan ciri-ciri pemahaman “Islam radikal”.

Sementara, salah satu kompetensi dalam mata pelajaran akidah dan akhlak juga terkait pemahaman dan penghayatan terhadap Islam wasathiyah dan kemampuan mengenali ciri-ciri “Islam radikal”.

Dalam panduan tersebut, utamanya pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, sedianya dijabarkan soal kerajaan-kerajaan Islam dan masa pemerintahan Rasulullah. Kendati demikian, yang diajarkan bukan soal penaklukan, melainkan capaian ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan masing-masing kerajaan, seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Ayubiyah. Tidak ada materi soal kesultanan Turki Utsmaniyah yang memang kerap dijadikan rujukan pendorong transnasionalisme Islam.

Terkait penyebaran Islam di nusantara, panduan juga menekankan kompetensi pemahaman sikap moderat dalam meneladani penyebaran Islam di Indonesia. Dalam mata pelajaran tersebut ada juga kompetensi dasar “Menyimpulkan peran tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan Islam dalam membentuk sikap cinta Tanah Air dan bela negara di Indonesia”. Meski tak dijelaskan secara terperinci, paparan itu bisa bersinggungan dengan perjuangan umat Islam melawan kolonialisme pada masa penjajahan.

Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilam Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, juga mempertanyakan kebijakan terkini Kemenag. Menurut dia, materi tentang khilafah dan perang merupakan bagian dari sejarah Islam. "Jadi, saya khawatir cara-cara yang dilakukan seperti itu justru akan mendistorsi umat Islam dalam memahami umatnya sendiri dan bahkan dalam menghayati sejarah sendiri," ujar Bukhori di Jakarta, Ahad (8/12).

Cara-cara seperti itu juga dinilainya seperti mengaplikasikan peraturan yang pernah terjadi pada Orde Baru, saat pemerintah terlalu banyak mengintervensi banyak hal, termasuk menutupi fakta-fakta yang ada. "Cara-cara yang dilakukan itu bukan cara-cara yang bersifat dialogis, tapi dogmatis. Contoh, Orde Baru ketika kemudian memaksakan dengan politik keagamaan tertentu," ujar Bukhori. n fauziah mursid/nawir arsyad akbar ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement