Dalam sejarah agama Yahudi, sebagaimana telah dikemukakan wacana apokaliptisisme tumbuh subur sejak abad ke-6 SM ketika kerajaan Yahudi di Palestina diserbu Babylonia (Iraq sekarang) dan mereka hidup penuh penderitaan dan keputusasaan dalam pembuangannya di kerajaan Nebukadnesar itu. Harapan dan janji kemenangan yang berulang kali disampaikan oleh nabi-nabi mereka, walaupun tidak kunjung terpenuhi akibat hambatan-hambatan politik dan keagamaan, dari waktu ke waktu memperkuat keyakinan mereka bahwa tanah yang dijanjikan dan kedatangan messiah atau juru selamat di Palestina pasti akan terpenuhi juga.
Yang dianggap sebagai peletak dasar epokaliptisisme Yahudi ialah Ezekiel, Jeremiah dan Zefaniah. Ezekiel mengatakan bahwa Tuhan identik dengan wahyu dalam kitab suci. Dengan demikian turunnya wahyu adalah juga merupakan kehadiran Tuhan di tengah umat manusia. Karena pandangan apokaliptik tertulis dalam kitab suci, maka sebenarnya Tuhan sendirilah yang menyingkap tanda-tanda datangnya akhir zaman berikut ketentuan waktunya. Zefaniah mengatakan bahwa Tuhan menjanjikan bagi Bani Israel tanah atau negeri yang di atasnya Messiah akan mendirikan kerajaan yang megah dan membebaskan bangsa Yahudi dari penderitaan.
Meskipun ramalan itu tidak kunjung memperlihatkan kenyataan selama berabad-abad, dan setiap kali direvisi, namun kepercayaan apokaliptik tentang tanah yang dijanjikan itu semakin tertanam jauh dalam lubuk jiwa penganut agama Yahudi. Seperti orang Kristen mereka yakin bahwa messiah akan turun di Palestina dan mendirikan kerajaan Israel di tanah yang dijanjikan itu dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Adapun messiah itu bukan Isa Almasih seperti diyakini penganut agama Kristen, tetapi salah seorang dari keturunan Nabi Daud yang perkasa dan dianugerahi mukjizat oleh Yahwe. Isa Almasih dalam keyakinan orang Yahudi justru adalah Dajjal sang Perusak Agung.
Di bawah pengaruh eskatologi Persia atau Zoroaster, sejarah dipandang bergerak dalam putaran waktu menuju eskatologi apokaliptik, yaitu keadaan penuh kekacauan pada akhir zaman. Ketika itulah Tuhan akan memberi pertolongan kepada bangsa Yahudi dengan dihadirkannya Messiah. Dengan demikian dalam apokaliptisisme Yahudi, sejarah dipandang sebagai sesuatu yang berjalan dan berkembangnya waktu secara linear dengan tujuan tertentu, yaitu membawa bangsa terpilih menuju kemenangan.
Inti apokaliptisisme Yahudi dapat diringkas sebagai berikut: (1) Tuhan mempersiapkan tanah yang dijanjikan; (2) Sebelum janji itu terpenuhi mereka akan mengalami masa-masa sulit disebabkan diaspora dan pengasingan, sebelum akhirnya mereka mengalami zaman baru yang akan menyelamatkan dan membebaskan mereka dari diaspora dan pengasingan; (3) Tuhan akan mengirimkan raja dan pemimpin kuat sebagai juru selamat yang adalah keturunan Nabi Daud; (4) Isa Almasih adalah Antichrist atau Dajjal.
Berdirinya negara Israel adalah wujud nyata dari harapan itu dan sekaligus merupakan persiapan menyambut datangnya Messiah. Jelas sekali, kepercayaan apokaliptik Yahudi bercorak etno-religius. Ibn al-Qayyim, ahli hadis abad ke-11 M, mengatakan bahwa memang sudah sejak lama orang-Yahudi meyakini hal ini. Mereka juga yakin bahwa apabila Messiah mengucapkan doa-doa dan jampi-jampi maka seluruh umat manusia akan tunduk pada bangsa Yahudi, sedangkan yang menentang akan binasa. Dalam kenyataan, menurut Ibn al-Qayyim lagi, orang Nasrani justru meyakini bahwa yang dimaksud Messiah oleh orang Yahudi itu tidak lain adalah Antichrist atau Dajjal.
Dalam Islam, baik Sunni maupun Syiah, kepercayaan akan akhir zaman dan tanda-tandanya juga terdapat. Di kalangan Syiah apokaliptisisme disebut mahdaviyat atau kepercayaan terhadap turunnnya Imam Mahdi. Tetapi sekalipun demikian tidak ada yang cenderung berlebihan seperti dalam keyakinan apokaliptik Kristen. Mereka meyakini bahwa begitu Dajjal –raja diraja keangkaraan dan kedurjanaan – datang, maka dunia akan menyaksikan malapetaka dan kerusakan besar disebabkan perbuatannya. Untuk mencegah marajalelanya Dajjal, Imam Mahdi turun. Peperangan terjadi antara Dajjal dan Imam Mahdi. Ketika peperangan dahsyat terjadi dan pasukan Imam Mahdi kewalahan, Nabi Isa a.s. akan turun untuk menyelamatkan dan membebaskan kaum mukmin. Berbeda dengan eskatologi Kristen yang meramalkan Isa Almasih turun di Bukit Zaitun, eskatologi Islam mengemukakan bahwa Nabi Isa a.s. akan muncul di sebelah timur Damaskus, Syria sekarang.
Sedangkan Dajjal akan muncul di sebelah barat Isfahan (Iran) antara Iraq dan Mesir. Pengikut Dajjal adalah kebanyakan orang Yahudi. Uraian tentang eskatologi dalam Islam secara rinci lebih banyak dikemukakan dalam hadis. Berdasarkan sumber-sumber hadis, penulis Muslim menyusun kitab eskatologi atau karya sastra yang memaparkan tentang eskatologi. Salah satu di antaranya ialahMasa’ilu `abdi’l-Lahi `bai Salam `ila’l-Nabi. Kitab ini disadur ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-17 di negeri Aceh Darussalam, dengan judul Kitab Seribu Masalah.
Secara simbolik dan imaginatif Dajjal digambarkan sebagai berikut: “Dajal itu turun di negeri Ajam, Ia mengendarai keledai besar. Jika berjalan di tengah laut, kakinya tidak basah. Segala orang kafir , orang yang menyembah berhala, Yahudi, Nasrani, dan segala orang yang durhaka bersujud menyembah Dajal itu. Ia berjalan membawa dua buah bukit, sebuah di sebelah kanannya berisi segala macam kenikmatan dan segala macam perhiasan, makanan, minuman, pakaian, gadis-gadis cantik; sebuah lagi di sebelah kirinya berisi segala macam siksa neraka, ular, kalajengking, dan api yang berkobar-kobar. Siapa yang percaya dan bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam surganya itu, dan siapa yang tiada mau bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam nerakanya itu.” (h. 127-133).
Rasail atau wacana apokaliptisisme seperti tampak dalam teks Kitab Seribu Masalah Melayu itu sangat dikenal secara luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia sejak lama, baik di kalangan Muslim Sunni maupun Muslim Syiah.
Dewasa ini perbincangan tentangnya dihubungkan dengan dua hal, yaitu gagasan mahdaviyat dan globalisasi. Yang pertama, adalah bentuk apokaliptisisme sebagaimana dipercaya kalangan Syiah di Iran, yaitu keyakinan bahwa sebelum Nabi Isa Almasih turun kembali ke dunia terlebih dahulu ditandai kemunculan Imam Mahdi yang dititahkan memerangi Dajjal. Media internasional, khususnya yang terbit di AS, mengaitkan kepercayaan itu dengan tampilnya Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad. Perseteruan Iran dengan AS, khususnya dalam era kepemimpinan Bush, ikut menyebar luaskan kepercayaan terhadap keyakinan kaum milleniaris.
Lantas jika perang antar agama benar-benar terjadi kelak, siapa yang harus disalahkan? Bush, kaum fundamentalis Kristen, dan Zionis, tentu akan menjawab: Semua itu dianggap sebagai kesalahan orang Islam, bangsa Palestina, Arab, Iran, Hamas, Hizbullah dan gerakan-gerakan pembebasan lain karena tidak mau berhenti melakukan perlawanan terhadap imperialisme As dan Zionis.