Kamis 05 Dec 2019 04:33 WIB

Apokalipitisisme,Teokrasi Amerika, Hingga Perang Agama

Siapa yang salah jika nanti terjadi perang agama?

Lukisan Pelukis Iran tentang gugurnya Husein di Karbala. Keterangan foto tidak tersedia.
Foto:

Kata-kata ‘apokaliptik’ (apocalyptics), berasal dari kata Yunani apokaluptein yang berarti wahyu, penyingkapan, atau yang disingkapkan melalui pewahyuan. Apa yang disingkapkan itu ialah tanda-tanda datangnya akhir zaman berupa kejadian-kejadian dahsyat dan kerusakan besar disebabkan ulah Sang Perusak yang disebut Antichrist (orang Islam menyebutnya Dajjal). Untuk menyelamatkan umatnya yang beriman Isa Almasih akan turun dan memulihkan kembali kerajaan Tuhan di muka bumi dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Bukit Zaitun di Palestina diyakini sebagai tempat pemunculan kembali Isa Almasih. Sebagai Messiah atau Juru Selamat, Almasih akan turun jika Antichrist muncul dan membuat kekacauan di seantero dunia. Aliran paling radikal yang disebut “post-milleniarisme” percaya bahwa kedatangan Antichrist, dan demikian juga Almasih, bisa diusahakan dengan membuat kekacauan di negeri yang menjadi tempat turunnya Isa Almasih.

Menjelang akhir zaman, menurut keyakinan ini, Perang besar antara bala tentara Antichrist dan Isa Almasih diramalkan akan meletus di Megido atau Armagedon, Palestina. Antichrist akan dikalahkan dan orang-orang Yahudi yang insaf akan berbondong-bondong memeluk agama Kristen. Kita tahu Yerusalem pernah diduduki pasukan Perang Salib I pada akhir abad ke-11 M, namun dalam Perang Salib II awal abad ke-12, pasukan kaum Muslimin di bawah pimpinan Sultan Saladin dapat merebutnya kembali dan menguasainya hingga berakhirnya Perang Dunia II.

Berbeda dengan apokaliptisisme Yahudi. Rabi-rabi Yahudi yakin bahwa Yerusalem kelak menjadi ibukota Israel, kerajaan yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagaimana dituturkan oleh nabi-nabi mereka. Impian itu telah tertanam dalam jiwa bangsa Irsael sejak abad ke-6 SM, namun belum kunjung terealisir sehingga mereka berusaha menduduki dan menguasai Yerusalem.

Pada tahun 1967 pare arkeolog Israel menemukan batu besar di dekat Masjid al-Aqsa yang mereka yakini sebagai bekas fundamen Kuil Sulaiman I. Kini Israel menggali terowongan menuju Masjid al-Aqsa untuk mencari fundamen bekas fundamen Kuil Sulaiman II. Mereka yakin jika kuil Sulaiman dapat dibangun kembali, Mesiah mereka akan turun ke bumi untuk membantu bangsa Yahudi mendirikan kerajaan Israel di tanah yang telah dijanjikan.

Jika dikaitkan dengan kata-kata yang selalu diulang Bush dalam pernyataan-pernyataan politiknya, seperti crusade (perang salib), axis of evil (poros Iblis) dan Islamic fascist (fasis Islam), akan jelas bahwa semua itu berhubungan dengan kepercayaam apokaliptik atau apokaliptisisme yang hidup di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi. Kata-kata Perang Salib (crusade) adalah sebutan yang diberikan oleh pemimpin Eropa sendiri pada abad ke-11 M, karena motif merebut Yerusalem itu memang bersifat keagamaan yaitu merebut tanah suci Yerusalem dan Salib suci yang ada di kota itu. Yang diperangi oleh penduduk Muslim dan Yahudi.

Sedangkan lawan perangnya, tentara Dinasti Saljuq, tidak pernah menyebut perang tersebut sebagai perang agama kecuali kemudian ketika motif keagamaan dari perang itu memang kelihatan dengan nyata. Sedangkan istilah fasis Islam digunakan untuk mendustai sejarah seakan-akan orang Islamlah yang berperan dalam holocaust dan diaspora bangsa Yahudi.

Bahwa Bush seorang fundamentalis Kristen yang fanatik, sebenarnya masyarakat AS sudah lama tahu. Kevin Philips menggambarkan bahwa presiden AS yang sebentar lagi akan lengser itu adalah anggota jemaah Gereja Southern Baptist Convention, sebuah gereja yang semula tidak begitu menonjol di Amerika. Sampai tahun 1980an keberadaannya kalah menonjol misalnya dibanding Gereja Advent, Mormons, Pantekosta, dan Presbyterian. Semua gereja ini masing-masing telah pula melahirkan kelompok-kelompok fundamentalis yang militan dan radikal.

Tetapi setelah Bush memegang tampuk pemerintahan, gereja yang berpusat di selatan itu tumbuh menjadi gereja Protestan terbesar di Amerika. Dari kalangan radikal gereja inilah lahir para penginjil (evangelist) yang radikal dan fundamentalis. Mereka sangat giat dalam kehidupan politik, khususnya dalam menghimpun dana dan dukungan bagi pencalonan Bush dalam kampanye pemilihan presiden AS 1998. Sejak itulah keberadaan gereja ini dikenal luas dan jumlah jemaahnya bertambah besar melebihi gereja Protestan lain.

Gereja ini juga giat mengirim para misionaris ke negeri-negeri kaum Muslimin setelah 1998, khususnya ke daerah-daerah yang bergolak seperti Iraq, Afghanistan, Indonesia, dan Sudan. Kelompok radikal dalam gereja menyebut aliran keagamaan mereka sebagai reconstructionism. Mereka berpendapat bahwa pemisahan negara dari gereja merupakan mitos dan salah besar dilihat dari sudut doktrin Kristiani. Mereka bercita-cita mendirikan negara teokrasi ala Taliban di Afghanistan dalam bentuk lain. Mereka inilah yang berhasil menjadikan Southern Baptist Convention menjadi gereja paling menonjol di AS dalam dasawarsa 90an, aktif menggalang dukungan untuk pemilihan Bush sebagai presiden. Kedekatan Bush dengan kelompok ini telah lama terjalin, yaitu sejak Bush menjadi gubernur Florida.

Sebelum Bush menjadi presiden, kelompok rekontruksionalis ini kurang dikenal oleh masyarakat AS, apalagi kesungguhan ikhtiarnya untuk mewarnai kehidupan politik. Tetapi melalui kegiatan yang digerakkan oleh para penggiatnya yang militan dan berduit, beserta jaringan organisasi dan medianya seperti Theocracy Watch, the Public Eye, the First Amandment Foundation, majalah Church & State, organisasi American United for Separation of Church and State, kiprah mereka lantas dikenal oleh khalayak luas.

Dalam mempengaruhi pemerintahan Bush, kelompok ini tidak melakukannya secara langsung. Tetapi melalui perantaraan lembaga-lembaga gereja seperti Southern Baptist Convention sendiri, serta lembaga-lembaga Protestan lain seperti the Assemblies of God, Promise Keepers, the Christian Broadcasting Network, the Christian Coalition, Council for National Unity, dan lain sebagainya.

Kaum rekonstrukionis menentang aborsi dan perkawinan sejenis (pasangan lesbian atau homo). Mereka menghendaki pelajaran agama (Kristen Protestan) dihidupkan kembali di sekolah umum dengan tujuan menyadarkan masyarakat akan kelarasan (relevansi) hukum Tuhan yang diajarkan Bibel. Pada tahun 2004 mereka menguasai kepemiminan Southern Baptist Convention. Arah kebijakan luar negeri AS ternyata memang ikut dipengaruhi oleh pandangan kelompok rekonstruksionis ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa Bush merupakan jurubicaranya yang paling lantang.

Bukti kuatnya pengaruh kepercayaan apokaliptik kepada Bush telah dikemukakan. Kosa kata ‘poros Iblis’ dan lain-lain berakar dalam pemikiran apokaliptik mereka. Tidak hanya itu, adalah berkat kegiatan kelompok ini maka kepercayaan apokaliptik kian berkembang dalam masyarakat Amerika. Kejadian-kejadian di dunia bakda Perang Dingin ikut memperkuat keyakinan ini di kalangan penduduk Amerika, tidak hanya di kalangan penganut Protestan. Mereka yakin bahwa Isa Almasih atau Yesus Kristus yang merupakan juru selamat akan hadir kembali pada awal millenium keetiga atau abad ke-21.

Sampai sekarang tidak sedikit orang Kristen meyakini hal itu. Menurut poll yang dibuat majalah Newsweek pada tahun 1999, tidak kurang dari 18 prosen penduduk AS yang dewasa (36 juta) meyakini ramalan tersebut. Karena itu tidak mengherankan apabila pada tahun 1999 ratusan orang Kristen dari berbagai penjuru dunia, terbesar dari AS, berkumpul di Bukit Zaitun menunggu kehadiran sang juru selamat.

Kita juga ingat betapa jutaan orang pada akhir tahun 1999, terutama di AS, dengan penuh kecemasan menunggu saat tibanya tahun 2000. Mereka mengkuatirkan datangnya Y 2 K Bug yaitu kekacauan disebabkan rusaknya jaringan dan sistem komputer yang akan berdampak luas dan menimbulkan chaos untuk beberapa waktu lamanya, terutama organisasi keuangan dan sistem keamanan di dunia. Pada saat itu pula jutaan orang Kristen dan Yahudi menunggu munculnya tanda-tanda kedatangan Dajjal sekaligus messiah. Tragedi 11 September 2001 atau runtuhnya gedung WTC di New York akibat ditabrak dua pesawat yang dibajak teroris, tambah meyakinkan bahwa Antichrist telah datang. Melalui pertanda ini mereka yakin pula bahwa tidak lama lagi Isa Almasih akan turun untuk kedua kalinya di bumi.

Apokaliptisisme dan Milleniarisme

Berdasarkan makna etimologisnya seperti yang telah dikemukakan dalam awal tulisan ini, perkataan apokaliptisik bisa diberi arti sebagai “penyingkapan tanda-tanda tersembunyi berkenaan dengan datangnya akhir zaman melalui pewahyuan.” Berbeda dengan pengakuan profetik (nubuwa) terhadap eskatologi yang menggunakan ta’wil atau penafsiran simbolik, pengakuan apokaliptik didasarkan atas penafsiran harfiah terhadap teks-teks suci dalam Perjanjian Lama dan Baru. Karena itu pandangan apokaliptik meyakini bahwa pada akhir zaman peristiwa-peristiwa besar yang tersembunyi, yang akan menimbulkan bencana dan kerusakan total, akan disingkap oleh Tuhan kepada umat manusia.

Teks-teks apokaliptik ini merangkum uraian tentang peristiwa masa depan, dan pada umumnya lahir pada masa-masa terjadinya krisis besar dalam kehidupan politik. Menurut Smithals (2004) tujuannya ialah untuk meneguhkan keyakinan penganut Kristen dengan menyingkap kerusakan yang dilakukan penguasa atau kaum yang dipandang durjana secara religius. Di dalamnya juga terdapat janji kemenangan bagi orang yang beriman (orang Yahudi kepada Messiah yang merupakan keturunan Daud, orang Kristen kepada Isa Almasih).

Kepercayaan semacam ini terdapat dalam semua agama, termasuk Islam, Hindu dan Buddha. Dalam tradisi agama Semit, mula-mula orang Yahudilah yang mengembangkannya dengan mencampurkannya dengan prinsip-prinsip eskatologi Zoroaster dan Gnostisisme Yunani. Titik awal perkembangannya dapat dilacak pada peristiwa dihancurkannya kerajaan Israel oleh Nebukadnesar dari Babylonia pada abad ke-6 SM yang menyebabkan ribuan orang Yahudi dibuang ke Babylon. Pada abad ke-2 SM ketika terjadi Perang Yunani yang menyebabkan mereka gagal mendirikan kerajaan di tanah yang dijanjikan, dan terutama pada pertengahan abad ke-1 SM ketika pasukan Romawi menduduki Palestina (Syria, Yordania, Libanon dan Palestina sekarang), apokaliptisisme Yahudi mencapai kematangan dan menemukan bentuknya yang muktamad (definitif).

Kepercayaan seperti itu tumbuh pula pada masa-masa berikutnya di kalangan orang Kristen dan Islam, karena banyaknya orang Yahudi memeluk agama ini dan memasukkan kepercayaan mereka di kalangan Kristen dan Muslim yang awal. Dalam perkembangannya, apokaliptisisme tidak hanya mengambil corak religius, tetapi tidak jarang bercorak sekular. Terutama setelah zaman Pencerahan pada abad ke-18 di Eropa yang melahirkan paham-paham seperti rasionalisme, humanisme, idealisme, materialisme, evolusionisme, dan lain-lain. Ia juga bisa merupakan pandangan pribadi dan kelompok. Aspek negatif dan positif, serta kekaburan pandangan, kerap berbaur dan lebur dalam kepercayaan ini. Pesimisme dan optimisme bisa pula muncul darinya, tergantung bagaimana orang menyikapi dan menindaklanjuti gagasan-gagasan yang terdapat dalam kepercayaan ini.

Tema tentang apokaliptisisme banyak dijumpai dalam karya sastra dan lukisan, dan pada abad ke-20 dalam film, lagu, tayangan televisi, novel-novel popular dan serius. Di antara film-film apokaliptik termasuk The Day After Tomorrow, Armageddon, The End of Evangelion, The Road Warrior, dan lain-lain. Lagu popular bernada apokaliptik ialah Last Day on Earth (Duran Duran), Progenies of the Great Apocalypse (Dimnu Borgir) dan King of the World (Steely Dan). Novel atau fiksi termasuk serial Left Behind (Tim LaHaye dan Jerry B. Jenkins), Its Only Temporary (Eric Shapiro) dan Survivors (Zion Ben-Jonah).

 Ia juga mempengaruhi kehidupan politik, misalnya melalui gerakan Zionisme Kristen yang menggagaskan berdirinya negara Israel pada abad ke-20. Gerakan-gerakan lain yang muncul dari buaian apokaliptisisme di antaranya ialah milleniarisme, pietisme, salvasionisme, messianisme, mahdisme, transhumanisme, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan keagamaan terkenal yang berpegang teguh pada apokaliptisisme selain Zionisme Kristen ialah The Qumran Essenes, The Millerites, The Jehovah’s Witness (Kesaksian Yehova), The Seventh Day Adventist.

 Gerakan-gerakan ini pada umumnya melahirkan pandangan hitam putih yang ekstrim. Terlebih apabila menjelma sebagai gerakan politik. Kawan dan lawan, rekan dan musuh dibedakan secara tegas. Musuh selalu dipandang sebagai kelompok yang berada dalam poros kejahatan. Tidak jarang ia melahirkan paham konspirasisme. Dalam pandangan ini lawan boleh dituduh sebagai agen kekuatan jahat yang berkonspirasi dengan agen jahat lain untuk menghancurkan keberadaan kelompok mereka yang berpihak kepada kebaikan seperti demokrasi, pluralisme, kebebasan, dan lain-lain.

Demikian kita lihat betapa kepercayaan eskatologi yang bercorak apokaliptik berakar kuat terutama dalam Protestanisme. Ini tidak mengherankan karena sejak awal Gereja Katholik mengambil sikap kritis terhadap apokaliptisme. Mereka memandang bahwa eskatologi yang terdapat dalam kitab suci dimaksudkan sebagai ajaran untuk mendorong penganut Kristen menyongsong masa depan melalui sakramen. Keselamatan hanya bisa diperoleh setelah manusia mati melalui penyucian diri (purgatory) dan penebusan dosa sewaktu seseorang masih hidup. Sebaliknya panganut apokaliptisisme berpegang pada pendirian bahwa eskatologi kitab suci mengandung makna yang mengharuskan manusia berperan aktif untuk mencapai tujuan yang dimaksud melalui gerakan-gerakan yang mampu merubah keadaan.

Kemenangan gereja Katholik atas kekaisaran Romawi pada abad ke-5 M membuat lunturnya kepercayaan ini di kalangan penganut Kristen di Eropa hingga abad ke-13 M. Tetapi dengan munculnya gerakan reformasi pada abad ke-15 M, dan terutama dengan munculnya Protestanisme pada abad ke-16 M, apokaliptisisme bangkit kembali dan tumbuh subur di kalangan penganut agama Kristen. Kebangkitan itu ditandai antara lain dengan tampilnya sekelompok teolog yang tidak puas terhadap kehidupan agama yang dikuasai Gereja Katholik. Mereka merasakan penguasa gereja berlaku tidak adil dan bertindak sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh gerakan reformasi. Paus yang akan datang malah mereka gambarkan sebagai Antichrist.

Pada masa Reformasi, Martin Luther – pendiri Protetanisme – pernah memaklumkan bahwa akhir zaman sudah dekat. Karena itu dia menyerukan agar kaum pembaru (reformis) segera mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan dunia seraya menyongsong datangnya Isa Almasih. Walaupun pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M pengaruh apokaliptisisme ini agak memudar berkat pengaruh humanisme dan rasionalisme, tetapi kelompok-kelompok Kristen fanatik masih berpegang pada dogma tersebut. Misalnya seperti tampak dalam gerakan Anabaptis. Gerakan ini berusaha mendirikan kerajaan Tuhan melalui jalan kekerasan. Dampak buruk dari kepercayaan ini di Jerman telah mendorong lahirnya Article XVII Konfesi Augsburg yang menyatakan bahwa kepercayaan apokaliptik sebenarnya merupakan doktrin agama Yahudi. Karena itu untuk beberapa waktu lamanya kepercayaan apokaliptik menjadi luntur.

Tetapi pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan bangkitnya kesadaran akan sejarah, apokaliptisisme tampil kembali dalam pentas keagamaan di Eropa. Ketika itulah lahir apa yang disebut sebagai Teologi Penyelamatan atau Salvasionis. Ajaran kelompok ini didasarkan antara lain pada dua buah buku karangan Hess berjudul Life of Jesus (3 jilid) dan Of the Kingdom of God: An Essay on the Plan of God’s Prarsions and Revelations.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement