Selasa 26 Nov 2019 05:00 WIB

Sentuhan Islam dalam Penggunaan Payung Kerajaan Nusantara

Penggunaan payung dalam kerajaan Nusantara juga efek peradaban Islam.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi payung dalam Keraton Kadariah Pontianak Kalimantan Barat
Foto: dok. Humas Pemprov NTB
Ilustrasi payung dalam Keraton Kadariah Pontianak Kalimantan Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Ribuan tahun silam, payung telah menjadi simbol umum di antara para penguasa di sebagian besar dunia, mulai dari Timur Tengah, Mesir dan Afrika Utara, Afrika sub-Sahara, Persia, Asia Selatan dan Tenggara, Cina, Jepang, dan Korea. 

Ini tercatat dalam Hieroglif (ukiran kuno) yang mencatat gambaran kerajaan dinasti kelima Mesir pada 2400 sebelum masehi, dimana payung berbentuk persegi menjadi simbol kedaulatan dan pengaruh seseorang.

Baca Juga

Bukan hanya Mesir, sejarah payung juga dapat ditemukan di Cina. Dalam sebuah teks klasik berjudul The Rites of Zhou yang ditulis pada 400 sebelum Masehi (SM), menjelaskan penggunaan payung sutra bundar yang digunakan warga Kerajaan Cina sebagai simbol keistimewaan mereka, termasuk sebagai lambang kekuasaan seorang komandan tertinggi. Penguasa terkadang memberikan payung kepada pejabat tinggi dan jenderal sebagai pengakuan atas kesetiaan mereka.

Dari Cina, payung kerajaan menyebar ke Jepang dan Korea. Di Jepang, payung menjadi hak prerogratif kerajaaan, dimana rakyat biasa dilarang menggunakannya. Namun pada abad ke-18, payung sudah dapat digunakan secara luas. Keadaan yang tidak jauh berbeda terjadi di Korea, dimana payung dijadikan sebagai simbol kerajaan. Payung kerajaan juga digunakan di kerajaan Mesopotamia, sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai Republik Irak. Payung kerajaan disana memiliki bentuk bundar dan runcing.

Seorang peneliti dari Rice University, Paula Sanders, menemukan adanya penggunaan payung kerajaan pada masa Dinasti Fatimiyah, abad ke-10 dan 11. 

Para khalifah secara selektif juga menganugrahkan payung kerajaan sebagai hadiah, yang menandakan dukungan dan komitmen si penerima terhadap khalifah. 

Menyebarnya Islam di wilayah Sub-Sahara, juga membawa tradisi payung kerajaan ke sepanjang wilayah yang menjadi rute perdagangan para kafilah dagang ini.

Di sub-Sahara Afrika Barat, payung kerajaan sering muncul di kerajaan Islam dan non-Islam. Payung digunakan sebagai bagian dari tanda kebesaran raja di semua kerajaan besar di Afrika Barat, termasuk Ashanti, Benin, Sokoto dan Dahomey. 

Penguasa di Afrika Timur juga mengadopsi budaya payung kerajaan ini, di mana kemungkinan mereka menyebar melalui ikatan perdagangan Muslim dengan Mesir dan tanah Semenanjung Arab. Penggunaan payung kerajaan ini bahkan terus berlanjut hingga abad ke-20.

India juga menjadi tempat berkembangnya tradisi payung kerajaan, dan tercatat dalam literatur dan teks kuno yang ditulis pada 300 SM. Mereka bukan hanya menggunakannya di lingkungan istana, tapi juga di tempat peribadatan. Tak aneh jika banyak patung dewa dan makan kramat yang dinaungi oleh payung-payung khusus.

photo
Ilustrasi payung dalam Keraton Kadariah Pontianak Kalimantan Barat.   

Di sana, payung kerajaan adalah tradisi yang hampir tak terputus, baik bagi penguasa Muslim maupun Hindu. Tradisi ini terus berlanjut sebagai tradisi yang tak terputus untuk semua raja India selama satu setengah abad berikutnya. Sebuah karya seni kerajaan Islam selatan menjelaskan bahwa raja Muslim dan Hindu menggunakan payung kerajaan. 

Sebagai contoh, Pertempuran Talikota, pada 1386, dimana raja Hindu dari Vijayanagar melawan para sultan Muslim di Bijapur, Golconda, Bidar dan Ahmadnagar. Sebuah lukisan kontemporer menunjukkan setiap pasukan mendekati area pertempuran di bawah payung kerajaannya masing-masing.

Sekitar 800 Masehi, payung kerajaan mulai berkembang di Asia Tenggara, dan diadopsi oleh raja-raja di Kamboja, Laos, Burma, Thailand, Vietnam dan Jawa. Tradisi itu mungkin berasal dari India atau Cina, mengingat kedua negara tersebut sangat berpengaruh pada saat itu. 

Borobudur di Jawa Tengah, situs budaya dan peribadatan terbesar di Asia Tenggara, juga menjadi bukti peran payung sebagai identitas para raja, bangsawan, dan tokoh terkenal di kehidupan Budha. Disana, hampir seluruh arca dan relief dilindungi payung (stupa).

Di tanah Jawa, payung kerajaan atau biasa disebut Songsong, memang sudah menjadi ciri khas para ningrat. Terdapat tanda konkret yang menandai identitas kaum bangsawan, yaitu kepemilikan mereka terhadap benda-benda yang menjadi simbol kehormatan sebagai bangsawan. Simbol-simbol kebangsawanan itu dilihat dari rumah, pakaian resmi dan perlengkapan upacara, salah satunya Songsong.

Simbol itu yang menentukan tingkat kebangsawanan dan kepangkatan seseorang pada pemerintahan.  Songsong biasanya berbentuk sama, dan pembedanya hanya cat dan kainnya saja. Songsong biasanya berwarna emas, putih, hijau, biru, merah tua, dan hitam. Emas merupakan warna yang mencerminkan strata tertinggi, sedangkan hitam menggambarkan yang terendah.

Angkor, sebuah candi besar di Kamboja yang menggambarkan pertempuran antara Kamboja dan kerajaan Champa, kini disebut Vietnam, juga dipenuhi payung yang berfungsi menaungi relief para jendral dan bengsawan. 

Payung tersebut menandakan kesetiaan tokoh yang dilingkupinya. Sedangkan replika sang raja memiliki lebih banyak payung, sekitar 15, lengkap dengan relief para prajurit pemegang payung.

Berbeda dengan Eropa, disana hanya beberapa wilayah saja yang mengadaptasi payung kerajaan dalam kegiatan peribadatan. Salah satunya Italia, yang saat itu cukup banyak menerima budaya luar termasuk dari Islam, dan Venesia, yang memiliki ikatan dagang erat dengan dunia Islam. 

Sebelum Perang Salib terjadi, Paus di Roma selalu dinaungi oleh payung khusus. Namun pada 1300 M, payung dianggap sebagai simbol bagi musuh. Sejak saat itu, payung yang menaungi Paus digantikan oleh kanopi datar bersudut empat.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement