REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak menjadi penguasa Ottoman, Abdul Hamid II sadar betul tekanan terhadap kerajaanya kian meningkat. Dalam buku hariannya, ia menuliskan betapa pentingnya jalinan ukhuwah Islamiyah di dunia Islam. Sang Sultan pun menyadari ketika ada upaya Yahudi menggerogoti wilayah Palestina yang kala itu berada di bawah mandat Ottoman. Pada 1892 sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina.
Permohonan itu dijawab dengan memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu, kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Pada 1896 Theodor Herzl memberanikan diri untuk kembali menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu kembali dijawab Sultan dengan penolakan tegas. Sesungguhnya, Daulah Usmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan tersebut. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian dalam kantong kalian sendiri, tegas Sultan.
Meski sudah ditolak hingga dua kali, Kaum Yahudi tak patah arang. Mereka kemudian melakukan usaha selanjutnya, yaitu dengan menggelar konferensi Basel di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Kesultanan Turki Usmani.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan. Paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan, pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902 tanpa rasa malu Herzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Herzl kali ini untuk menyogok orang nomor satu kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Herzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang Pemerintah Usmaniyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan mem bangun Universitas Usmaniyyah di Palestina.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Herzl dan hanya diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan,Nasihati Herzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku.
Tanah itu adalah hak umat Islam. Sultan mengatakan, Umat Islam telah berjihad demi kepentingan Palestina. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi disilakan menyimpan harta mereka.Jika suatu saat kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganyaa.
Namun, kata Abdul Hamid II, selama masih hidup, dia lebih rela menusuk kan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Sejak saat itu, kaum Yahudi dengan gerakan Zionisme-nya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "kemerdekaan", "kebebasan", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism".
Abdul Hamid menyadari nasibnya semakin terancam. Dia bisa saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi, untuk apa? Dia mengaku sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas umat. Tempatnya tetap di Istanbul. (Dr Muhammad Harb: 2012).
Selain persoalan eksternal, Sultan Abdul Hamid II juga menghadapi persoalan internal pemerintahannya. Ia terus digoyang oleh para aktivis organisasi rahasia Freemasonry yang menyusup dalam barisan pemuda revolusioner liberal. Mereka menamakan diri sebagai gerakan Turki muda.
Kelompok Freemasonry yang terus berusaha menjegal kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II juga tergabung dalam organisasi Al-Ittihad wa At- Taraqqi/Ittihad ve Terakki (organisasi persatuan dan kemajuan).
Sultan Abdul Hamid II memerintah di tengah kepungan kelompok Yahudi, anggota-anggota Freemason, dan aktivis liberal-sekular. Mereka berusaha melengserkannya dengan berbagai cara, sehingga Turki dengan peradaban Islam-nya kemudian pudar dan akhirnya pada 1924 menjadi negara yang sangat sekular.
Sultan Abdul Hamid II meninggal pada 10 Februari 1918 dan menjabat sebagai khalifah Kesultanan Turki Usmani selama 33 tahun. Sepeninggalnya, tak ada lagi sultan Turki Usmani yang memiliki kecakapan berpikir dan keberanian terhadap Yahudi seperti yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid II semasa hidupnya.