Kamis 21 Nov 2019 04:31 WIB

Kisah Soegija, Van Lith, dan Misi Kristen

Kisah Soegija, Van Lith dan Misi Kristen

Soegija tengah berpidato di hadapan rakyat Indonesia  (Foto:Sesawi.net)
Foto: Wikipedia
Fransiscus Georgis Josephus van Lith

Tentu saja, sebagai tokoh Katolik, sosok dan kiprah Soegija tidak bisa terlepas dari tugas utamanya untuk menjalankan misi Katolik di Indonesia. Dalam bukunya, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 1999, hal. 40-41), Jan Bank menceritakan, bahwa Soegija – nama lengkapnya Albertus Soegijapranata — lahir di Solo, 25 November 1896. Ia masuk agama Katolik saat belajar di sekolah guru di Muntilan yang didirikan oleh Pater Van Lith. Tahun 1919 ia dikirim ke Belanda dan tahun 1922 memasuki Ordo Yesuit. Di sana ia menjadi murid Rektor Willekens. Pada 15 Agustus 1931, Soegija ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Van Roermond di Maastrict. Tahun 1933, Soegija kembali ke Indonesia dan pada 1934, ia diangkat menjadi kapelan (pastor pembantu) di Bintaran, sebuah kampung di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia diangkat mejadi pastor. Tahun 1940, ia diangkat menjadi Uskup.

Sosok Soegija memang tak bisa dilepaskan dari sosok Frans Van Lith, tokoh Yesuit yang sangat aktif melakukan kegiatan misi melalui pendidikan dan budaya Jawa. Buku “Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang” karya Dr. Th. Van den End dan Dr. J. Weitjens SJ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hal. 440) menuliskan sekilas kisah Soegija bersekolah guru dan mengubah agama menjadi Katolik di bawah asuhan van Lith: “Ada beberapa hal yang diutamakan Pastur van Lith: murid-murid Muntilan hidup dalam internaat-asrama supaya pendidikan sungguh-sungguh membina orang dewasa berkeribadian. Pastur sendiri kerap kali pergi ke Yogya, Solo, dan tempat-tempat lain untuk mencari murid: Kasimo dan Soegija adalah di antara murid-muridnya yang terkenal. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis.”

Posisi sekolah guru (kweekschool) asuhan van Lith diuntungkan oleh kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal AF van Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak kepada misi Kristen di Hindia Belanda (Indonesia). Lulusan sekolah ini diberi hak yang sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. Dalam buku “Ragi Carita” disebutkan, bahwa lulusan kweekschool Muntilan “harus berani berkecimpung di seluruh masyarakat Indonesia, menjadi ragi di mana pun mereka bekerja.” (Ibid).

Perkembangan Katolik di Jawa lumayan pesat. Pada tahun 1940 sudah ada sekitar 500 sekolah Katolik, dengan sekitar 56.000 murid dan lebih dari 1.300 guru pribumi. Pada situasi seperti itulah, pada 4 Agustus 1940, Paus Pius XII mengangkat Albertus Soegijapranata SJ, sebagai Vikaris Apostolik Semarang, sebagai uskup pribumi pertama. Pada 1939, Soegija diangkat sebagai consultor (penasehat) pribumi pertama bagi Superior Serikat Yesus (SJ). (Ibid, hal. 442).

Tentang strategi misi dalam membawa orang-orang Jawa kepada Katolik, Frans van Lith menekankan perlunya para misionaris mempelajari bahasa dan budaya lokal:

“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.” (Lihat buku “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia” oleh Fl. Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 151-152).

Untuk meminta dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal van Idenburg. Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Buku “van Lith” menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang denga satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.” (Ibid, hal. 162).

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement