Selasa 19 Nov 2019 08:44 WIB
first travel

Lelang Aset First Travel Ditunda

Lelang Aset First Travel Ditunda

Rep: Ali Yusuf, Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Subarkah
Jemaah yang akan mengikuti sidang gugatan perdata aset First Travel memasuki gedung pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (20/3/19).
Foto: Antara/Kahfie Kamaru
Jemaah yang akan mengikuti sidang gugatan perdata aset First Travel memasuki gedung pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (20/3/19).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan Kejaksaan Negeri Depok menunda eksekusi lelang aset First Travel (FT). Jaksa Agung juga memerintahkan pengkajian agar aset FT tetap dikembalikan kepada jamaah sesuai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) meski amar putusan menyatakan aset perusahaan itu dirampas untuk negara.

"Kami masih membicarakan langkah apa yang terbaik meski jaksa tidak bisa PK. Tapi, ini demi kepentingan umum, kita coba. Apa kita biarkan saja (jamaah tambah rugi)?" kata Jaksa Agung di Kejaksaan Agung, Senin (18/11).

Jaksa Agung juga menjamin, pihak kejaksaan akan memastikan barang bukti yang disita dari para terdakwa kasus tersebut serta perusahaan mereka tidak dihilangkan atau menurun nilainya. "Jadi, pasti bahwa barang bukti itu tidak akan kurang, akan sesuai (yang diterima dari penyidik kepolisian saat P-21)," ujarnya.

ST Burhanuddin menekankan, dalam pandangan hukum kejaksaan, seharusnya aset First Travel dikembalikan kepada korban kasus penipuan pemberangkatan umrah tersebut. Jaksa Agung juga meminta Kepala Kejaksaan Negeri Depok Yudi Triadi segera meluruskan pernyataannya soal rencana pembentukan tim lelang aset First Travel.

"(Pernyataan) ini akan dipelajari dan kalau memang itu salah, saya akan minta dia meluruskan dan mempertanggung jawabkan," katanya.

Selepas pernyataan Jaksa Agung tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspes) Kejaksaan Agung Mukri langsung memanggil Yudi Triadi untuk meminta penundaan rencana eksekusi. Yudi menyatakan siap menjalankan perintah itu.

Kepada Republika di ruangan Kapuspen Kejakgung, Yudi menjelaskan, sejauh ini masih ada gugatan perdata dari sebagian korban terkait penguasaan aset First Travel. "Tetapi, statement terkait itu dipotong," kata Yudi.

Pada kesempatan itu Yudi juga menyampaikan bahwa aset-aset FT telah dibuatkan tempat khusus demi menjaga kualitas barang-barang agar nilai ekonominya tidak jatuh hingga saat dilelang. "Jadi, saya amankan di gedung kantor lama yang diharapkan nilai ekonomisnya tidak turun, Pak, karena sudah dua tahun," kata dia lagi.

Nilai aset

Pada kesempatan itu, Mukri juga menanyakan kepada Yudi soal jumlah akumulasi aset First Travel yang disita. Yudi mengatakan, total nilai aset First Travel yang disita mencapai Rp 900 miliar bila diuangkan. “Rp 900 miliar nilai perhitungan mereka dari 500 barang sitaan ini," kata dia.

Mukri bertanya kembali mengenai dasar penilaian hingga mendapatkan angka Rp 900 miliar itu melalui akuntan publik atau appraisal independen. “Sepertinya itu hitungan penyidik. Enggak ada appraisal, dari awal enggak ada appraisal. Jadi, nilai taksiran dari keterangan saksi-saksi," kata Yudi menjawab pertanyaan Kapuspen.

Yudi mengakui, pihaknya belum menghitung berapa nilai aset First Travel yang disita saat ini. Kendati demikian, menurut dia, nilai barang yang telah tersimpan lama pasti akan turun. "Turunnya berapa, kita belum bisa pastikan," katanya.

Agen perjalanan First Travel mulai melayani perjalanan umrah pada 2011. Sekitar enam tahun berjalan, Kementerian Agama mengindikasikan skema bisnis umrah berbiaya murah First Travel bermasalah.

Pada awal 2017, skema tersebut macet dan ribuan pendaftar di First Travel gagal berangkat. Pendiri perusahaan itu, Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari, kemudian dijadikan tersangka.

Pada Mei 2018, Pengadilan Negeri (PN) Depok memvonis bersalah Andika (20 tahun penjara, denda Rp 10 miliar), Anniesa (18 tahun penjara, denda Rp 10 miliar), dan petinggi First Travel lainnya, Kiki Hasibuan (15 tahun penjara, denda Rp 5 miliar). Hakim juga memutuskan seluruh aset First Travel dirampas negara.

Pada Januari 2019, Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Depok tersebut dan Kejaksaan Negeri Depok sempat menyatakan akan selekasnya melakukan lelang atas aset-aset tersebut. Sejumlah korban kasus itu keberatan karena menilai aset First Travel semestinya untuk mengganti kerugian mereka. Pengadilan sempat mencatat, total korban First Travel yang tak jadi berangkat umrah mencapai 63 ribu orang dengan nilai setoran mencapat sekitar Rp 900 miliar.

Sejak awal, aset First Travel yang disita kepolisian kemudian diserahkan ke kejaksaan dan pengadilan tersebut belum pernah ditotal secara terperinci. Jaksa Agung M Prasetyo juga sempat mempertanyakan sitaan yang menyusut dari sekitar 800 item menjadi sekitar 500 item.

Kuasa hukum Andika Surachman, Boris Tampubolon, mengaku tak mengetahui secara pasti jumlah awal aset kliennya yang disita oleh negara. Namun, kata dia, ada aset yang disita tetapi tidak masuk ke dalam berkas putusan. "Untuk detailnya itu masih di kantor. Cuma memang intinya ada yang berkurang. Intinya ada yang disita tetapi tidak dimasukkan dalam berkas," tutur Boris kepada Republika, Senin (18/11).

Menurut Boris, ia baru ditunjuk sebagai kuasa hukum bos First Travel itu belum lama ini untuk melakukan peninjauan kembali (PK). Dalam PK-nya nanti, Boris bersama tim akan membuktikan beberapa hal, salah satunya soal aset milik Andika yang sudah diperoleh jauh sebelum kasus First Travel tetapi ikut disita untuk kasus tersebut.

Diketahui, salah satu alasan PN Depok memutuskan aset First Travel dirampas negara adalah penolakan perwakilan para korban, Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPAKFT), dalam persidangan terhadap aset First Travel. Luthfi Yazid, salah seorang kuasa hukum para korban, menyatakan, mereka kala itu menolak karena telah menghitung aset First Travel yang disita dan disampaikan dalam persidangan.

“Aset yang tercantum dalam surat tuntutan JPU, menurut perhitungan PPAKFT, hanya sekitar Rp 20 miliar sampai Rp 25 miliar. Maka jika dibagi kepada sekitar 63 ribu jamaah, berarti setiap jamaah hanya dapat Rp 200 ribuan. Padahal, uang jamaah yang masuk ke perusahaan FT diperkirakan hampir mencapai Rp 1 triliun,” kata dia kepada Republika, kemarin.

Oleh karena itu, menurut Luthfi, para korban kala itu mendesak transparansi soal nilai aset yang disita sebelum langkah selanjutnya diputuskan. Ia menekankan, para korban tetap menginginkan kerugian mereka diganti. “Coba bayangkan, tukang sayur ngumpulin duitnya 30 tahun untuk umrah kemudian uangnya ditipu bos FT dan dirampas negara,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement