REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA – Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki banyak kesamaan, termasuk kesamaan dalam memahami doktrin-doktrin ajaran agama.
"Jika laki-laki bisa benar dan bisa keliru memahami ajaran agama, maka perempuan juga bisa. Dalam hal ini adalah memahami makna perang jihad, bahwa jika mati dalam jihad adalah syahid yang imbalannya adalah surga," kata Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr Azizah, kepada Republika.co.id, Kamis (14/11). Pernyataan ini dia sampaikan menanggapi keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme.
Sayangnya, jelas Azizah, perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme itu keliru memahami konsep perang jihad, di mana mereka beranggapan terorisme bagian dari konsep jihad. Kalau laki-laki bercita-cita untuk mati syahid, maka perempuan juga bersemangat untuk mati syahid.
"Maka hal itu menjadi wajar jika perempuan juga terlibat dalam terorisme yang keliru sebagai konsep jihad dan syahid dalam ajaran Islam," terangnya.
Azizah menerangkan, dalam Islam, perang jihad tidak ditujukan pada orang yang tidak bersalah. Sebab, yang diperangi adalah kafir harbi, yakni orang atau kelompok non-Muslim yang memerangi Islam. "Bukan kafir dzimmi, orang atau kelompok non-Muslim yang hidup dalam suatu negara bersama-bersama orang muslim dengan damai," katanya.
Alquran, lanjut Azizah, menggambarkan bahwa dalam perang jihad itu orang tidak boleh mati konyol. Orang tersebut harus mampu membunuh dengan perbandingan 1:2. Setelah itu, baru kemudian boleh tewas terbunuh oleh musuh. "Bukannya membunuh diri sendiri, sementara musuh tidak ada yang mati, sebagaimana dalam surah al-Anfaal ayat 66," ungkapnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, papar Azizah, sebetulnya tidak ada resep yang instan untuk meluruskan konsep jihad yang dipahami secara keliru bagi sebagian kecil umat Islam itu.
Menurut dia, beberapa solusi yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan dalam semua tingkat dan jenisnya. Dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, dari pendidikan dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.
“Bukan dengan cara-cara memusuhi, tetapi merangkul, dan dialog-dialog dengan melibatkan tokoh-tokoh agama yang melakukan dakwah secara persuasif," tutur dia.
Selain itu, hal yang perlu dilaksanakan yakni upaya pemerataan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan begitu, dengan sendirinya seseorang akan merasakan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maret lalu, peristiwa pengeboman di Sibolga, Sumatra Utara, melibatkan perempuan, yakni istri Abu Hamzah. Pelibatan perempuan dalam peristiwa lainnya juga terjadi pada aksi teror di Surabaya Mei 2018 lalu. Kemudian, Desember 2016 lalu, polisi menangkap perempuan asal Purworejo yang dengan tuduhan merencanakan bom bunuh diri di Bali pada malam tahun baru 2017.