REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perdagangan yang ramai di Aleksandria bukanlah alasan satu-satunya para pendatang asing ke kota pelabuhan ini. Pada abad ketujuh hingga abad ke-16 M, Aleksandria menjadi pelabuhan penting jika ingin mengunjungi tempat-tempat suci di kawasan itu, yaitu Mesir, Makkah, atau Yerusalem.
Minat para peziarah menuju kota suci tersebut karena terdapat beberapa gereja dan biara-biara di sekitar Aleksandria serta lokasi Lembah Nil yang diyakini sebagai tempat pengungsian Yesus dan keluarganya selama di Mesir.
Posisi Aleksandria sebagai tempat transit untuk perjalanan wisatawan ke Makkah dan Madinah membuat kota ini menerima pengunjung dan peziarah dari Afrika Utara dan Andalusia. Salah satunya adalah Ibnu Battuta, penulis sejarah terkenal abad 14 asal Maroko yang mengunjungi kota tersebut sebanyak dua kali selama hidupnya.
Namun, ketika Portugis menemukan rute laut menuju India dengan cara memutari Benua Afrika di Tanjung Harapan pada 1498 M, akhirnya membuat Aleksandria menjadi sepi. Ditambah lagi, pada saat itu kanal yang menghubungkan Aleksandria ke Kairo melalui Sungai Nil tertimbun lumpur sehingga membuat para pedagang asing berusaha mencari pelabuhan alternatif.
Selain itu, wabah peyakit pernah menyerang kota ini. Antara 1347 M hingga 1459 M, tidak kurang dari sembilan gelombang wabah menewaskan 200 jiwa per hari. Sekretaris Duta Besar Venesia pada April 1512 M menceritakan, wabah itu membuat para pedagang mencari rute perdagangan baru di tempat lain.
Kini, Aleksandria lebih banyak didominasi oleh bangunan tinggi blok apartemen beton dan lalu lintas jalanan. Aleksandria mungkin tak sepenuhnya memancarkan kembali kilau tuanya. Namun, perannya sebagai titik pertemuan bagi berbagai ragam budaya dan kepercayaan tak akan terlupakan. n c38/saudi aramco ed: rahmad budi harto
Tinggal di Funduq
Rumah peristirahatan khusus yang disebut funduq dibangun untuk para pedagang yang singgah di kota pelabuhan Aleksandria, terutama mereka yang datang dari Eropa. Sementara, para pedagang Muslim bebas untuk menentukan tempat bermukim di mana pun di Aleksandria. Funduq dibangun di sekitar halaman tengah gudang agar mempermudah transaksi bisnis dan pemindahan barang dagangan.
Beberapa negara yang berdagang mendapatkan hak istimewa atas funduq. Venesia, misalnya, pada funduqnya terdapat sebuah gereja, pemandian, dan diperbolehkan membawa roti, keju, dan barang-barang lainnya bebas pajak. Salah seorang pedagang Venesia Benjamin dari Tudela Spanyol mengungkapkan, pedagang dari 28 negara Eropa pernah singgah di Aleksandria pada 1170 M, termasuk negara yang berada di luar Mediterania, seperti Denmark, Irlandia, Norwegia, Skotlandia, dan Inggris.
Aleksandria pada abad pertengahan menjadi titik pertemuan antara kepercayaan, budaya, dan perdagangan. Pendeta abad ke-12 M Guillaume dan sejarawan Tirus menulis, orang-orang dari Timur dan orang-orang dari Barat bertemu di kota ini. “Aleksandria seperti pasar besar dari dua dunia,” tulis mereka.
Namun, Perang Salib tidak hanya menghancurkan hubungan antaragama. Akibat perang tersebut, Paus memberlakukan embargo total perdagangan dengan Muslim. Akibatnya, pengunjung asing yang pergi ke Kota Aleksandria di bawah pengawasan ketat. Non-Muslim dilarang untuk memasuki pelabuhan barat dan beberapa pasar di Kota Aleksandria yang membatasi kewarganegaraan atau etnis para pedagang. Pada saat Perang Salib, Sultan Salahuddin al-Ayyubi melarang pedagang non-Muslim memasuki Mesir, begitu juga sebaliknya.