REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Rancangan undang-undang yang diajukan oleh kabinet di Jerman mempersyaratkan bahasa Jerman dalam berbicara jika para imam ingin tinggal di negara itu. RUU tersebut akan dibahas di parlemen.
Dalam RUU itu dikatakan, para imam dari luar negeri yang ingin bekerja di Jerman harus membuktikan bahwa mereka memiliki keterampilan berbahasa Jerman yang memadai jika mereka ingin tinggal di sana
Pejabat setempat mengatakan, kemampuan bahasa penting jika imigran ingin berintegrasi ke dalam masyarakat Jerman. Imigran yang dimaksud bagi mereka yang mencari pekerjaan yang sebagian besar dikhususkan untuk agama
"Kami berharap para imam asing dapat berbahasa Jerman," kata seorang juru bicara pemerintah Jerman, Rabu (13/11).
Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer mengatakan, pengetahuan tentang bahasa Jerman sangat diperlukan agar integrasi tersebut berhasil. Dalam RUU itu, para tokoh agama sebagai panutan bagi komunitas dinilai penting untuk diintegrasikan karena mereka memainkan peran penting dalam mendorong hidup berdampingan secara damai antara berbagai budaya.
"Itulah keyakinan kabinet, terlebih lagi, ketika para rohaniwan adalah titik acuan bagi banyak integrasi sukses imigran lainnya di Jerman," kata Seehofer.
Namun demikian, langkah itu ditentang oleh Bekir Altas dari asosiasi masjid Milli Gorus. Ia mengatakan, aturan demikian adalah pendekatan yang dangkal dan berbahaya. Ia menilai pemerintah Jerman mengambil jalan 'populis'.
"Laporan media menunjukkan bahwa para imam di Jerman tidak berbicara sepatah kata pun dari bahasa Jerman. Ini salah," kata Altas.
Di sisi lain, ia mengatakan bahwa banyak imam yang mengajar dalam bahasa ibu mereka dan mempraktikkan profesi mereka yang luar biasa setiap harinya. Karena itu, ia justru meminta agar menghargai peran para imam tersebut.
"Akan lebih tepat untuk berterima kasih kepada para imam ini daripada merusak mereka dengan tindakan semu," tambahnya.
Laporan menunjukkan ada sekitar 2.000 masjid dan pusat Islam di Jerman. Namun demikian, imam dari luar negeri kerap dianggap kurang memahami budaya Jerman.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh Konrad Adenauer Foundation, yang terkait dengan partai Kesatuan Demokratik Kristen di bawah Kanselir Angela Merkel, menunjukkan penempatan para imam Turki ke Jerman telah lama menjadi kontroversial.
Hal ini menjadi sangat sensitif sejak kudeta 2016 yang gagal terhadap rezim presiden Recep Tayyip Erdogan. Kala itu, masjid-masjid yang didanai Turki dituduh mengambil peran politik dan menjadi instrumen mata-mata. Uni Islam Turki untuk Urusan Agama, cabang pemerintah Turki, telah mendanai sekitar 900 masjid di Jerman.