Rabu 13 Nov 2019 04:50 WIB

Sabar, Karakter Sejati Orang-Orang Beriman

Nabi Ayub AS diuji dengan penyakit yang tidak kunjung sembuh selama tujuh tahun.

Sabar/ilustrasi
Sabar/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nabi Ayub AS diuji dengan penyakit yang tidak kunjung sembuh selama tujuh tahun. Suatu hari, istrinya berkata, “Wahai Ayub, sekarang aku benar-benar telah dililit kemiskinan dan kemelaratan. Sekarang aku sudah tidak mampu menjual seutas tali dengan sepotong roti untuk kamu makan. Berdoalah kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkanmu.”

“Celaka kamu. Sebelum ini kita dalam limpahan kenikmatan selama tujuh puluh tahun. Sabarlah hingga kamu berada di dalam lilitan kemelaratan selama tujuh puluh tahun.” jawab Ayub. 

Suatu hari, setan duduk di tengah jalan dan membawa sebuah peti yang telah diperbaiki. Istri Nabi Ayub AS mendatanginya seraya mengatakan, “Wahai hamba Allah, di sini ada seorang manusia yang sedang sakit. Apakah kamu bisa menyembuhkannya?”

Setan menjawab, “Jika dia mengizinkan, aku akan melakukannya asal setelah sembuh ia mengatakan satu perkataan untukku: Kamulah yang menyembuhkanku.”

Istri Nabi Ayub AS bergegas menemui suaminya dan memberitahu, “Ayub, di sini ada seorang pria yang mengaku mampu mengobatimu asal kamu mengatakan satu kalimat untuknya, yaitu kamulah yang menyembuhkanku.”

“Celaka kamu. Itu setan. Demi Allah, jika Allah telah menyembuhkanku, aku akan mencambukmu seratus kali.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Tinggalkan aku. Aku tidak lagi membutuhkanmu.” tegas Ayub.

Setelah istrinya pergi meninggalkannya, Nabi Ayub AS berdoa, “Tuhanku, aku telah ditimpa kesulitan dan Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang."

Kemudian, Jibril datang dan memegang tangannya seraya berujar, “Berdirilah!” Nabi Ayub AS pun berdiri. Jibril memerintahkannya, “Hentakkan kakimu.” Nabi Ayub AS menghentakkan kakinya dan memancarlah mata air.

Jibril kembali memerintahkan, “Minumlah!” Nabi Ayub AS pun meminumnya. Jibril kemudian memberinya pakaian dari surga dan ternyata Nabi Ayub AS lebih tampan dan lebih harum daripada sebelumnya.

Suatu hari, istri Ayub yang meninggalkannya merasa kasihan dan iba padanya. Maka, ia berkata dalam hati, “Kepada siapa aku memasrahkannya? Aku harus kembali meski aku telah diusir.” 

Ia kembali ke tempat Nabi Ayub AS, tapi tidak menemukannya. Ia berlari terburu-buru ke arah perkampungan warga dengan perasaan waswas. Lalu, kembali ke tempatnya semula dalam keadaan linglung. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Nabi Ayub AS dan menanyainya, “Wahai hamba Allah, apakah Anda melihat orang sakit yang diusir dari kampungnya?”

“Apakah yang kamu khawatirkan darinya?” jawab Nabi Ayub AS. “Aku khawatir ia dimakan anjing atau binatang buas.”

Nabi Ayub AS tidak mampu menahan diri untuk tidak menangis. Lalu, ia menanyainya, “Apakah kamu mengenalinya andai kamu melihatnya?”

“Demi Allah, Anda adalah orang yang paling mirip dengannya jika saja ia dalam keadaan sehat walafiat.” kata istri Ayub sambil menatapnya.

“Celaka kamu. Akulah Ayub. Allah Azza wa Jalla telah mengembalikanku seperti sedia kala.” “Hai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah dan jangan menghinaku.” jawab istrinya tak percaya.

“Celaka kamu. Aku Ayub.” Nabi Ayub AS kembali meyakinkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, lantas keduanya berpelukan dan Allah mengembalikan harta benda dan anak-anak mereka di depan mereka sambil memberikan yang sejumlah itu.

Subhanallah. Itulah kisah yang menginspirasi bagi setiap pembaca. Tidak sedikit orang yang tidak tersentuh hatinya tatkala mengalir kisah kesabaran Nabi Ayub AS tersebut.

Yakinlah bahwa tidak satupun manusia beriman di bumi ini yang tidak mendapat ujian dan cobaan. Ujian dan cobaan itu merupakan sunnatullah untuk mengetahui siapa orang-orang yang benar-benar beriman.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan, hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS al-Anbiya [21]: 35).

“Sungguh mengherankan perkara orang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik baginya. Hal itu tidak dimiliki siapa pun kecuali orang mukmin. Jika ia diberi sesuatu yang menggembirakan ia bersyukur maka ia menjadi baik baginya. Apabila, ia ditimpa suatu madarat ia bersikap sabar maka itu pun menjadi baik baginya.”(HR Muslim).

Itulah karakter sejati orang-orang beriman. Apa pun yang ditimpakan kepadanya selalu disikapi dengan kebaikan. Wallahu a'lam. N 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement