Senin 11 Nov 2019 17:00 WIB

Keutamaan Menutup Aib

Islam akan terlihat hebat dan kuat jika umatnya saling menjaga aib saudaranya

Umat Islam
Umat Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Islam akan terlihat hebat dan kuat jika umatnya saling menjaga aib saudara mereka satu sama lain. Kegemaran umat Islam menyebarluaskan aib saudaranya sama saja dengan membuka aibnya sendiri. Nama Islamlah yang tercoreng. Bak kata pepatah, “Menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.”

Ketika seseorang menyebarkan aib saudaranya sesama Muslim, konsekuensinya, Allah akan membukakan pula aibnya. Orang yang terbuka aibnya akan malu. Ia kemudian membalas pula untuk mencaricari dan menyebarkan aib orang yang telah membuatnya malu. Akhirnya, jatuhlah martabat umat Islam sebagai umat yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Musuh-musuh Islam akan bertepuk tangan. Mereka akan bersorak dan mengompori umat Islam yang tengah berlomba-lomba membuka aib mereka satu sama lain. Tentu keburukan-keburukan umat Islam akan menjadi isu hangat untuk ditonjolkan.

Dengan semakin gampang dan mudahnya media komunikasi dan teknologi, menjadikan seseorang dapat dengan mudah menyebarkan kejelekan orang. Rekaman video kekerasan, kejahatan, bullying, dan sebagainya dapat disebarkan dengan mudah di media sosial. Umat Islam yang awam ketika melihat video atau berita tersebut malah menyebarkannya kepada orang yang mereka kenal.

Demikian juga dengan gencarnya media sosial. Seseorang sangat gampang menulis kata-kata yang tak patut. Tanpa mereka sadari, mereka telah menyebarluaskan aib orang lain di akun media sosialnya. Bahkan, para ulama dan ustaz sekali pun tak luput dari bullying yang mempertontonkan aib mereka.

Dekan Fakultas Tafsir Universitas Al Azhar Kairo Mesir Prof Dr Abdul Badi’ mengatakan, bahkan Allah SWT sebenarnya ingin menutupi aib hamba-hamba- Nya. Seperti seorang Muslim yang mendapati saudaranya tengah berzina. Jika ia memergoki kejadian itu seorang diri, kewajibannya adalah menasihati pelaku zina dan haram baginya untuk menyebarluaskan aib tersebut.

Lain persoalannya jika sudah disaksikan empat orang laki-laki yang adil dan benar-benar menyaksikannya. Berarti, pelaku zina sudah benar-benar keterlaluan sehingga wajib untuk dilaksanakan hukum Islam. Tapi, tentu saja jarang sekali perilaku zina yang tertangkap basah oleh empat orang laki-laki yang adil.

Menurut Prof Dr Abdul Badi’, model hukum Islam seperti ini memesankan kepada kaum Muslim untuk menutupi aib saudaranya kendati ia sudah tertangkap basah telah berzina. Bahkan, orang yang sudah bermaksiat kepada Allah SWT sekali pun, masih dilindungi aibnya oleh Allah SWT, apalagi orang yang memiliki aib pribadi.

Ketika Ghamidiyah, salah seorang wanita yang dihukum rajam pada zaman Rasulullah SWT akan dieksekusi mati, salah seorang sahabat melontarkan katakata yang mencelanya. Rasulullah SAW langsung menepisnya dalam sabda Beliau SAW, “Janganlah engkau menghina dan mencerca Ghamidiyah. Sesungguhnya, tobatnya itu diterima Allah. Sekiranya hendak dibandingkan tobatnya dengan tobat yang lain, tobat ini adalah lebih besar dari Gunung Uhud.”

Semenjak itu, seluruh sahabat mendiamkan kisah Ghamidiyah. Seakan, semasa Rasulullah SAW tak ada orang yang dihukum rajam karena telah berzina. Para sahabat tidak ada yang berani membahas saudarinya yang pernah khilaf berzina dan dirajam. Mereka sadar, keimanan Ghamidiyah jauh lebih tinggi dari mereka.

Ketika seseorang ingin membuka aib saudaranya, apakah ia menyadari sepenuhnya orang yang ia buka aibnya itu benar-benar lebih hina dari darinya? Tak ada yang bisa menjamin derajat ketakwaan dan keimanan seseorang di sisi Allah SWT. Bisa jadi, orang yang dibuka aibnya tersebut ternyata lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Apalagi, untuk menghina seorang ulama atau orang saleh yang kemungkinan besar adalah orang yang derajatnya tinggi di sisi Allah. 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement