REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Buya Anwar Abbas mengatakan, ada perbedaan pendapat tentang Maulid Nabi di kalangan umat Islam, tapi masyarakat harus tetap saling menghormati. Ada hikmah di balik Maulid Nabi, yaitu menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah.
"(Nabi Muhammad SAW) adalah sosok yang akan kita tiru dan kita teladani, baik dalam hal yang berhubungan dengan akidahnya, ibadahnya, akhlaknya, maupun muamalahnya," kata Buya Anwar kepada Republika, Kamis (7/11).
Ia menerangkan, jadi salah satu hikmah Maulid Nabi ini umat Islam bisa meniru dan meneladani cara berpikir, berbicara, dan berperilaku Nabi. Buya Anwar juga menjelaskan, hidup pada zaman Nabi berbeda dengan hari ini, tapi hal-hal yang sudah ada ketetapannya yang jelas dalam Alquran dan sunah tidak boleh diubah. Namun, kalau yang belum diatur secara jelas itu menjadi tugas kita untuk melakukan ijtihad.
Ia mencontohkan pada zaman Nabi belum ada bank, pasar modal, dan asuransi. Namun, Rasulullah telah mengajarkan nilai-nilainya sejak dulu seperti melarang manusia terlibat dalam praktik riba. Umat Islam juga dilarang terlibat dalam praktik tipu-tipu dan perjudian serta berbohong. Nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah itu harus dibawa ke dalam kehidupan dan transaksi bisnis.
Namun, karena bentuk bisnisnya belum ada di zaman Nabi, para ulama melakukan ijtihad. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa.
“Sehingga ada ada fatwa yang berhubungan dengan produk-produk bank syariah, ada fatwa yang berhubungan dengan produk asuransi syariah, ada fatwa yang berhubungan dengan pasar modal dan rumah sakit syariah," katanya menjelaskan.