Kamis 07 Nov 2019 20:22 WIB

Penjelasan Mengapa Hati Jadi Muara Kebaikan dan Keburukan

Hati menjadi pusat munculnya kebaikan dan keburukan.

Susunan bunga berbentuk hati (ilustrasi)
Foto: ©wallpaper.com
Susunan bunga berbentuk hati (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Dari Nawwas bin Sam'an RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Kebaikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia" (HR Muslim). 

Wabishah bin Ma'bad ra. berkata pula, saya mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, "Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?". Saya menjawab, "Ya, benar". Beliau bersabda, "Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (Ini adalah hadis hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan ad-Darimi dengan sanad hasan).  

Baca Juga

Dua hadis ini menceritakan dua hal yang sangat dekat dengan kehidupan manusia, yaitu al-birr (kebaikan) dan al-itsmu (keburukan; dosa). Siapa saja yang maksimal dalam melakukan yang pertama, dan maksimal menjauhi yang kedua, maka kebahagiaan dunia akhirat akan mudah ia raih.  

Ada satu anjuran penting dari hadis ini: ketika kita ingin melakukan sesuatu, hendaklah kita bertanya dulu pada hati. Apabila dengan melakukannya hati kita menjadi tenang, maka lakukanlah; sedangkan bila hati menjadi gelisah, maka tinggalkanlah. Imam Ali mengatakan, "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dirimu dan lakukanlah sesuatu yang tidak membuatmu ragu".  

Nabi Adam AS pernah berwasiat kepada anaknya. Ia mengatakan, "Apabila kamu hendak melakukan sesuatu, dan hatimu merasa tidak menentu-maka jangan dilakukan, karena sewaktu aku mendekat untuk memakan buah pohon Khuldi di syurga, menjelang memakannya hatiku berdebar-debar tidak menentu."  

Sejatinya, Allah SWT telah menyimpan fitrah yang suci pada hati manusia. Fitrah ini akan mengatakan "tidak" terhadap perilaku maksiat sekecil apapun. Boleh jadi orang sudah terbiasa dengan kemaksiatan-hingga ia tidak risih lagi melakukannya, namun hati kecilnya tidak akan bisa dibohongi. Ketika seseorang melakukan kemaksiatan, maka hatinya selalu mengatakan tidak dan menolak perilaku tersebut. Karena itulah, Allah SWT menjadikan hati nurani sebagai radar yang bisa menentukan standar baik buruknya sebuah perbuatan. 

Mengapa harus hati? Pada suatu waktu, bisa jadi, orang akan menganggap buruk sebuah kebaikan. Ketika kita sedang benci kepada seseorang, biasanya sebaik apapun amal yang dilakukan orang tersebut, kita melihatnya sebagai kejelekan. Karena itu, kalau ukuran kebaikan disandarkan pada pendapat manusia, maka akan relatif sifatnya. Sedangkan yang namanya kebaikan tidak bisa "direlatifkan". Dengan alasan itulah, Rasulullah SAW memberikan barometer yang tidak bisa dibohongi dalam kondisi apapun, yaitu "tanyalah hatimu!". 

Secara spesifik, dalam hadis ini Rasulullah SAW mengungkapkan tanda-tanda buruknya sebuah perbuatan. Yaitu, tanda yang bersifat internal-datang dari dalam diri-berupa gelisahnya hati dan rasa sesak dalam dada (gundah gulana). 

Walaupun semua orang mengatakan (memfatwakan) kebenaran perbuatan tersebut. Tanda kedua bersifat eksternal-datang dari luar, yaitu berupa keengganan untuk diketahui orang lain. Itulah sebabnya setiap prilaku maksiat cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terjadi di tempat sepi. 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement