Senin 04 Nov 2019 15:34 WIB

Benarkah Ada Korelasi Halloween dan Anti-Islam di Barat?

Halloween menampilkan monster bersama dari Islam Abad Pertengahan.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Halloween di AS
Foto: placestoseeinyourlifetime.com
Halloween di AS

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES – Setiap 31 Oktober di Amerika Serikat, anak-anak berkostum menggelar parade harlequin pada perayaan Halloween. Biasanya, anak-anak juga berkostum dengan mengenakan topeng monster atau wajah yang menyeramkan. 

Ternyata, mitologi monster yang menginspirasi kostum monster klasik Halloween ini memiliki asal-usul tersendiri.

Baca Juga

Analis kebijakan di CAIR-Los Angeles, Shaheen Nassar, seperti dilansir di Aljazeera, Jumat (1/10), mengatakan bahwa mitologi monster mempersonifikasikan ketakutan. 

Menurutnya, tidak ada yang lebih yang menakutkan bagi kebangkitan nasionalisme kulit putih di Amerika Serikat daripada orang kulit berwarna.

Karena itu, menurutnya, kebijakan yang melindungi anak-anak Latin, namun melarang anak-anak Muslim dan menembak anak-anak kulit hitam adalah produk akhir dari sejarah panjang dalam menggambarkan orang-orang kulit hitam dan cokelat sebagai monster.

Seperti halnya topeng Halloween, mitos monster melambangkan kecemasan sosial. Melalui mitos monster ini, komunitas mencurahkan masalah mereka dalam bentuk fisik. Mereka menciptakan metafora cakar, berbulu untuk masalah sosial. 

Menurut Nassar, banyak mitos monster hari ini di Barat berasal dari dehumanisasi (perilaku merendahkan yang lain) umat Kristen Abad Pertengahan terhadap non-Kristen pada umumnya dan Muslim pada khususnya. 

Seperti yang ditunjukkan seorang cendekiawan agama Sophia Rose Arjana dalam bukunya "Muslim in the Western Imagination", orang Eropa membesar-besarkan Muslim menjadi seperti monster.

Mereka menyamakan Islam dengan Setanisme dan mencirikan pria Muslim sebagai setan yang rakus. Menganggap Muslim sebagai ancaman terhadap kesusilaan itu memberikan pembenaran bagi pembersihan dan pembunuhan etnis mereka. 

Mitos hiperseksualitas yang sama akan berabad-abad kemudian mengarah pada hukuman mati tanpa pengadilan terhadap ribuan pria kulit hitam tak berdosa di bawah Jim Crow di AS.

Dalam bukunya, Arjana berpendapat bahwa kekuatan yang tumbuh dari Kekaisaran Ottoman, dan ekspansinya ke Eropa menyebarkan ketakutan akan 'ancaman' demografis Muslim. Hal itu juga membuka jalan bagi penciptaan mitos anti-amalgamasi (perkawinan antara suku atau bangsa) tentang monster yang dapat merusak darah orang Kristen 'dengan gigitan'. 

Menurut Arjana, kecemasan tentang percampuran ras dengan Muslim adalah sesuatu yang memicu penemuan legenda serigala dan manusia vampir yang populer.

Dengan mengubah Muslim menjadi monster yang tidak hanya berbahaya, orang Eropa berusaha membenarkan upaya mereka untuk mengendalikan orang-orang Muslim dan menguasai tanah mereka. Mitos monster ini dengan konotasi rasial yang jelas terus disebarkan oleh budaya populer saat ini.

Lebih lanjut, Nassar mengatakan bahwa Hollywood telah mengenalkan mitos-mitos ini dan menciptakan banyak film yang menggunakan gambar monster yang dirasialisasikan. Misalnya, Film monster klasik seperti King Kong (1931), The Wolfman (1941), dan The Creature in the Black Lagoon (1954) yang mencerminkan kekhawatiran orang kulit putih Amerika tentang ras.  

Menurutnya, ketiga film ini berputar di sekitar monster yang tampak berbeda, mengadakan hubungan predator dengan wanita kulit putih dan tidak dapat hidup berdampingan secara damai dengan peradaban Barat. Pokoknya, semua atribut yang populer dikaitkan dengan rasial adalah 'yang lain'.

Terlepas dari citra monster yang dirasialisasikan, penggambaran orang kulit berwarna dalam film juga sangat negatif. Laki-laki kulit hitam dan Latin sering digambarkan sebagai penjahat, sementara orang Arab dan Muslim secara tradisional digambarkan sebagai teroris.

photo
Parade Halloween di New York

Anak laki-laki kulit hitam dan cokelat jarang melihat layar film untuk melihat representasi heroik dari diri mereka sendiri. Mereka sering melihat laki-laki dari kelompok etnis/ras mereka digunakan sebagai target latihan oleh protagonis kulit putih. 

Di akhir film-film semacam itu, para penonton tergerak untuk menghibur pembunuhan "monster" yang dirasialisasikan dalam aksi hukuman mati tanpa pengadilan yang dilakukan secara simbolis terhadap pelaku kejahatan yang bukan manusia.

Bahkan animasi yang diperuntukkan bagi audiens yang lebih muda menghubungkan keberbedaan rasial dengan keburukan. Kartun 1990-an seperti Disney's Gargoyles (1994-97) dan Fox's X-men (1992-97), misalnya, memperlakukan perbedaan fisik sebagai sumber penganiayaan besar dan kekuatan besar.

Representasi yang dirasialis juga mendominasi politik Amerika. Dalam wacana politik dan media, orang-orang kulit berwarna dilucuti dari kemanusiaan mereka dan ditampilkan sebagai penjahat brutal, dan ancaman ke pinggiran kota putih yang makmur.

Presiden AS Donald Trump membangun seluruh karier politiknya dengan menggunakan inkarnasi modern tentang monster klasik, seperti "kartel bandit", "teroris Muslim", atau "penjahat hitam". 

Trump menurut Nassar, seperti banyak lembaga politik AS, telah menggunakan penggambaran ini untuk membenarkan kebijakan yang tidak manusiawi.

Acuan terhadap laki-laki Latin sebagai pengedar narkoba dan pemerkosa digunakan untuk membenarkan kebijakan kontrol perbatasan militer di perbatasan AS-Meksiko, yang telah mengakibatkan penahanan 76 ribu anak di bawah umur dan kematian lebih dari selusin anak tahun ini. 

Selain itu, gambaran Muslim sebagai teroris juga telah memunculkan larangan Muslim di AS. Karena pemahaman dan mitos yang dikembangkan tentang sosok penjahat itulah, anak-anak kulit berwarna turut dipengaruhi kebijakan yang menargetkan komunitas mereka. 

Tidak jarang, mereka dikurung, dimata-matai, ditembak dengan darah dingin lantaran orang Amerika percaya dengan mitos bahwa anak-anak ini akan tumbuh menjadi monster. Karena itu, Nassar menyebut bahwa Halloween adalah supremasi kulit putih yang memproyeksikan ketakutannya pada ras lain pada keanehan fiksi.  

 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement