REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belajar dari Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dialami di Kabupaten Asmat, Papua, dan bukan hanya di Indonesia bagian Timur, ternyata masih banyak wilayah kota besar di Indonesia mengalami masalah gizi pada anak. Sebaran kasus gizi buruk, dan stunting juga terjadi berbagai wilayah lain di Indonesia.
"Dompet Dhuafa bersama gerakan kesehatan bertumpu pada pilar pelayanan kesehatan yang berkualitas, pembelaan dalam bentuk pendampingan terhadap akses jaminan kesehatan nasional dan pemberdayaan kesehatan masyarakat dengan upaya aktivasi UKBM berbasis Pos Sehat, telah mengimplementasikan program JKIA (Jaring Kesehatan Ibu dan Anak) serta SNGI (Saving Next Genertaion Institute) berbasis pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan kematian ibu dan anak, pendampingan tumbuh kembang bayi balita," kata General Manajer Kesehatan Dompet Dhuafa, dr. Yeni Purnamasari, MKM di Jakarta, Jumat (1/11).
Stunting pada balita perlu menjadi perhatian yang khusus karena dapat menghambat perkembangan anak, gangguan perkembangan otak, intelegensia (IQ) rendah dan daya tahan tubuh menurun. Stunting juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas di kemudian hari.
Efek dari stunting dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Anak perempuan yang terlahir kekurangan gizi dan menjadi kerdil saat masa kanak-kanak akan tumbuh menjadi ibu yang kekurangan gizi, yang pada gilirannya melahirkan bayi yang kekurangan gizi juga. Siklus ini akan berulang jika tak diputus dengan intervensi yang tepat.
Selain dampak kesehatan, stunting juga mempengaruhi kecerdasan anak, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Menurut World Bank 2016, diperkirakan stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi setiap tahunnya sebesar 2-3 persen dari GDP dan dapat mengurangi PDB suatu negara sebanyak 12 persen.
Pada pelaksanaan programnya, Dompet Dhuafa telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Puskesmas wilayah program dan seluruh stakeholder di wilayah tersebut, termasuk PKK, organisasi masyarakat, mitra perusahaan, NGO atau LSM, dan pemerintah daerah sampai Desa. Diperlukan upaya kolaborasi multistakeholder, dan kesinambungan program untuk mendukung tercapainya program pemerintah dalam penguatan RPJMN 2020-2024.
Permasalahan stunting, memiliki penyebab yang kompleks, sehingga upaya penurunannya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah namun memerlukan kolaborasi berbagai sektor termasuk lembaga swasta. Meskipun stunting ini sifatnya tidak bisa dibalikkan, namun dapat dicegah yakni dengan meningkatkan nutrisi bagi wanita dan anak-anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan mulai dari kehamilan hingga anak usia dua tahun.
Setelah KLB, pemerintah juga masih melanjutkan program pemenuhan gizi dan pendampingan bagi keluarga yang anak-anaknya mengalami gizi buruk. Semenjak status KLB akibat gizi buruk dan campak di Asmat dicabut sejak 5 Februari 2018, tercatat korban meninggal mencapai 72 anak-anak, yakni 66 karena campak, dan enam karena gizi buruk.
Selama KLB, berbagai penanganan kesehatan dilakukan pemerintah Indonesia. Antara lain memberikan vaksinasi terhadap lebih dari 10 ribu anak Asmat yang ada di 224 kampung di 23 distrik, dan perawatan para korban di RSUD Agats.
"Dompet Dhuafa berkontribusi dalam penanganan kasus gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, bahkan melakukan pendampingan selama 2018 hingga saat ini termasuk dengan Pos Sehat. Kegiatan yang dilakukan adalah layanan kesehatan dan pojok nutrisi keluarga, yang di dalamnya terdapat pelayanan holistik berupa kegiatan penanganan dan pencegahan gizi buruk dan campak," ucap Yeni.
Ia melanjutkan, program yang dijalankan oleh Dompet Dhuafa bersifat kontinyu dan berkelanjutan. Bukan hanya program temporer, tapi juga program yang dapat mengedukasi masyarakat setempat dan membangun kapasitas budaya lokal dengan membentuk Pos sehat, yang terdiri dari kemitraan masyarakat untuk terlibat sebagai kader dan relawan sehat serta mitra lainnya seperti pemerintah daerah, puskesmas, dinas kesehatan, tokoh masyarakat dan lainnya.
Kasus KLB Gizi Buruk di Asmat menjadi salah satu pembelajaran bahwa Indonesia masih mengalami beban ganda malnutrisi pada anak. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7 persen bayi usia di bawah lima tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9 persen dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8 persen.
Adapun prevalensi balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8 persen, turun dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2 persen. Meski tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah target RPJMN 2019 yakni 28 persen dan rekomendasi WHO (World Health Organization), yang mensyaratkan prevalensi stunting kurang dari 20 persen. Artinya prevalensi stunting Indonesia masih tergolong kronis, di mana satu dari tiga anak Indonesia mengalami stunting.