Jumat 01 Nov 2019 04:33 WIB

Celana Jengki, Agotukung, Jibab, Cadar: Razia Radikalisme?

Celana Tutup Botol, Jibab, Cadar: Razia Radikalisme

Pementasan Lautan Jilbab Emha Ainun Nasjdin 1987.
Foto: Cak Nun.com
Pementasan Lautan Jilbab Emha Ainun Nasjdin 1987.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

"Daripada ngurusi yang tampak, mending Menteri Agama itu ngurusin yang substansial saja. Karena soal radikalisasi, soal terorisme, dan seterusnya, itu bukan soal penampakkan, bukan apa yang kelihatan, tapi ini soal ideologi." Pernyataan kata anggota DPR Fraksi PKB Yaqut Cholil Qoumas yang dilansir diberbagai media dikatakan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10).

Apa yang dikatakan 'Gus Yakut' ini langsung melontarkan pikiran pada sutuasi 1980-90an ketika saat itu ramai soal penggunaan jibab. Saat itu pun suasana ributnya bukan main alias 'mengepul-ngepul'. Pro dan kontra dimana-mana. Sama dengan mengenakan cadar pada saat ini, tudingan pejoratif bagi muslimah berjilbab juga 'negatif', misalnya tuduhan 'sok Islam', pakaian Arab, hingga radikal. Suasana makin seru ketika saat itu muncul ikutan aksi kekerasan dengan meledaknya bom di BCA yang ada di Jakarta Kota, Kerusuhan Lapangan Banteng, Peristiwa Tanjung Priok dan lainnya. Pendek kata suasana negara kala itu pengap sekali.

Tak hanya itu, kala itu juga muncul berbagai kasus aneh, dari munculnya kelompok Komando Jihad (Komji) dengan tokohnya anak muda asal Medan bernama Imron), yang anggotanya nekad melakukan pembajakan pesawat Garuda yang tengah terbang menuju Palembang dan kemudian dibawa ke Bangkok Thailand. Pada saat sama kala itu suasana sosial pun terasa penuh horor penembakan para preman secara 'misterius' mendadak bermunculan. Mayat tak dikenal tergeletak di jalan-jalan atau bahkan kerap dipusat keramian seperti gedung Bioskop. Alhasil, jilbab kala itu hadir seolah melengkapi suasana suram umat Islam Indonesia.

Untunglah dalam suasana memprihatikan itu pelan suasana itu berbalik. Dalam waktu yang tak terlalu lama munculnya lagu 'Aisyah Adinda Kita' karya Taufiq Ismail yang dinyanyikan kugiran Bandung Bimbo. Irama lagu ini mendayu-dayu seolah mendesak bahwa perempuan berjilbab itu indah, manis, dan pintar. Syairnya begini:

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita

Angka SMP dan SMA sembilan rata–rata

Pandai mengarang dan organisasi

Mulai Muharam 1401 memakai jilbab menutup rambutnya

Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita

Index Prestasi tertinggi tiga tahun lamanya

Calon insinyur dan bintang di kampus

Bulan Muharam 1404 tetap berjilbab menutup rambutnya

Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita tidak banyak berkata

Aisyah adinda kita dia memberi contoh saja

Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah

Ada seratus Aisyah berbusana muslimah

Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah

Ada sejuta Aisyah, Aisyah adinda kita

Lagu itu, menurut kisah Taufiq dalam sebuah perbincangan dimaksudkan sebagai respons suasana zaman. Saat itu jilbab dianggap sebagai lambang keterbelakangan dan pengekangan kaum perempuan. Sisa pejoratif itu terekam sampai kini moleh soerang tokoh. Misalnya dengan mengenakan jilbab tak seindah mengenakan kebaya konde. Padahal di Eropa ada terpilih wali kota semacam Amra Babic menjadi Wali Kota perempuan Muslim berjilbab pertama di kota Sarajevo, ibu kota Bosnia. Ini menjadi hal yang sangat tidak mungkin terjadi selama dahulu ada wilayah itu di bawah ketiak rezim Joseph Broz Tiro yang berkuasa di Yugoslavia.

Hasil gambar untuk amra babic

Foto: Amra Babic, Wanita Pertama Eropa berjilbab. Dia menjabat sebagai walikota  Sarajevo, Bosnia.

Perlawanan pertama lainnya atas pelarangan jilbab muncul dari budayawan kondang dari Yogyakarta, Emha Ainun Najdib. Di awal 1990-an (yakni di tahun 1997 dia  lakon teater 'Luatan Jilbab'. Emha kerap mengatakan saat itu sungguh perbuatan nekad karena mementaskan ke panggung para muslimah berjilbab. Dan uniknya pementasan ini sangat sukses. Ribuan orang menyesaki pementasan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement