REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Ikhwanul Muslimin (IM) terus berupaya untuk mengisolasi komunitas Muslim yang berasal dari Kawasan Maghrebi (Algeria, Libya, Maroko, Tunisia, dan Mauritania) yang saat ini bermukim di Prancis. Perempuan dijadikan target utama lantaran sangat signifikan dalam regenerasi umat Muslim.
Hal itu dipaparkan Hamid Zanas, seorang penulis Aljazair, di laman The Arab Weekly pada Sabtu (26/10). Ia menyebut bahwa IM berupaya menamkan cara pikir patriarki pada lelaki Muslim dari Kawasan Maghrebi. Yakni, suatu pandangan yang menilai bahwa perempuan itu lemah sehingga harus dituntun, dipelihara dan dikontrol agar tak mencoreng kehormatan keluarga.
Padahal, tulis Zanas, penilaian semacam itu sudah lama ditinggalkan peradaban Islam. Namun, IM tetap berupaya menamkam hal itu dengan cara menjadikannya sebagai salah satu bagian dari hukum Islam secara tak langsung dan tak kasat mata.
Secara tak kasat mata itu tampak dari upaya IM yang selalu mendukung kebebasan dan hak perempuan untuk menggunakan jilbab. Tapi, yang mereka lakukan itu semata-mata untuk memastikan para perempuan Muslim patuh dan tunduk pada nilai-nilai patriarki. IM memberikan dukungan kebebasan palsu itu dengan dalih mempertahankan identitas agama dan kultural.
Kepada kaum perempuan itu sendiri, ujar Zanas, IM berupaya melakukan pendekatan tak langsung untuk meyakinkan bahwa diri mereka inferior. Sehingga, perempuan akan secara sukarela menyerahkan kemerdekaannya pada laki-laki.
Karena bentuk pengekangan itu tak kasat mata, IM pun tetap bisa medaku bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan mendukung kebebasan perempuan muslim. Padahal yang IM maksud dengan "kebebasan" adalah kondisi di mana perempuan "memilih" apa yang diinginkan laki-laki.
Di lain sisi, upaya integrasi perempuan Muslim dengan budaya Barat juga terus berlangsung. Namun, IM melabeli mereka yang ingin membebaskan diri dari budaya patriarki sebagai perempuan yang nakal dan melanggar. Di saat itulah peran laki-laki (ayah, suami, saudara) harus dimunculkan untuk membawa para perempuan yang ingin melepaskan diri itu kembali ke tatanan budaya patriarki.
Meski demikian, dalam faktanya memang tak banyak Muslimah dari Afrika Utara yang kini berada di Prancis itu berupaya melawan pengekangan dan membebaskan diri mereka. Sebab, jika mereka memaksakan diri melakukan itu, maka reputasi mereka akan buruk di mata komunitas Muslim.
Akibatnya, Muslimah di Prancis akhirnya tetap berada dalam kungkungan budaya patriarki yang ditanamkan oleh IM. Terkadang, meski penampilan mereka sudah bisa disesuaikan dengan kebudayaan Barat, tapi jauh dalam hatinya, nilai-nilai patriarki itu masih tertanam.
Menurut Zanas, nilai partiarki yang tertanam pada perempuan Muslim di Prancis bahkan lebih dalam dibandingkan Muslimah di daerah asalnya, Afrika Utara. Zanaz menduga, hal itu lantaran perempuan Muslimah di Prancis terlalu takut untuk kehilangan identitasnya di tengah masyarakat dan budaya Prancis.
Ketakutan itu juga salah salah satu senjata utama IM untuk menamkan nilai patriarki. Mereka mengeksploitasi rasa taku itu sedemikian rupa dengan menyelinap ke dalam keluarga-keluarga muslim di Prancis. Perempuan pun dijadikan objek utama lantaran pentingnya peran mereka dalam pembentukan keluarga dan pelestarian nilai patriarki.
Dengan demikian, Muslimah pun akhirnya menemukan diri mereka dalam kondisi keterpaksaan untuk menggunakan jilbab atau niqab ataupun burqa. Padahal hal semacam itu sangat problematik dalam kehidupan mereka di Prancis.
Sebagai contoh adalah pada lingkungan sekolah anak-anak mereka. Semisal ada kelas luar ruang yang mengharuskan pendampingan orang tua, maka seorang Muslimah tidak akan bisa menemani anak-anak mereka. Sebab, sekolah di Prancis melarang orang tua yang menggunakan hijab untuk ikut serta.
Umat Islam sedang beribadah di sebuah masjid di Bordeaux, Prancis.
Hal ini membuat komunitas Muslim semakin terasing dari kehidupan masyarakat Prancis dan kebudayaan modern yang ada di negeri yang terkenal dengan menara Eiffel-nya itu.
Pada akhirnya, tulis Zanas, upaya IM untuk melestarikan nilai patriarki yang dibalut agama itu hanyalah sebuah taktik transisi. Semua itu hanyalah fase awal yang disebut dengan 'tamkeen' (pemberdayaan) dan bermuara di fase kedua, yakni menjadikan mereka radikal.
Satu-satunya harapan bagi Muslimah di Barat untuk membebaskan diri dari cengkeraman Ikhwanul Muslimin, jelas Zanas, adalah dengan menyadari pencapaian gerakan-gerakan feminis dan gerakan pembebasan perempuan lainnya. Di mana gerakan semacam itu berhasil menentang obskurantisme agama dan sosial di negara asal mereka, seperti di Tunisia, Aljazair, dan Maroko.