Sabtu 26 Oct 2019 13:36 WIB

Mengenal KH Ali Ma’shum Perintis Pesantren Alquran

Ali, begitu nama aslinya. Beliau dilahirkan pada 15 Maret 1915 di Lasem,

Rep: Islam Digest Republika/ Red: Agung Sasongko
Santri
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Santri

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Biasanya, bila seorang guru atau kiai mengajar putra kiai lain, ia akan memperlakukannya dengan istimewa karena hormat pada orang tuanya. Tapi, kebiasaan tersebut tidak berlaku di sebuah pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta. Beberapa putra kiai yang menimba ilmu di pesantren itu diperlakukan sangat kerasseperti para santri lainnya oleh sang guru yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren. 

Pihak pesantren menerapkan waktu belajar yang ketat, sejak subuh hingga pukul 21.00 malam. Para putra kiai itu tidak bisa bersikap seenaknya. Mereka harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai santri. Pelajaran suatu kitab yang sudah lewat harus dipahami dengan baik. Kapan saja mereka harus bisa menjawab pertanyaan guru, atau menerangkan kembali maksud pelajaran tersebut ketika diminta. 

Setiap hari mereka harus hafal bait-bait kitab tertentu. Kalau tidak bisa, sang guru akan menghukumnya dengan berdiri terus sampai bisa hafal. Siapakah sosok sang guru tersebut? Dia tidak lain adalah KH Ali Ma’shum, menantu KH Munawir, sang tokoh pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beliau dipercaya untuk melanjutkan memimpin Pesantren Krapyak sepeninggal Kiai Munawir.

Ali, begitu nama aslinya. Beliau dilahirkan pada 15 Maret 1915 di Lasem, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah timur dan termasuk dalam wilayah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota Lasem tidak bisa dipisahkan dari nama Mbah Ma’shum, seorang ulama pengasuh Pesantren Al-Hidayat. 

Mbah Ma’shum tidak lain adalah ayahanda dari Kiai Ali dan juga merupakan salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Ali merupakan putra sulung Mbah Ma’shum dengan istrinya, Nyai Nuriyah. Dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa ketika Ali berumur 12 tahun, ia dikirim ke Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur untuk belajar pada KH Dimyathi. 

Saat itu, Pesantren Tremas memang dikenal sebagai salah satu pesantren besar, di samping Tebuireng, Lirboyo dan Lasem sendiri. Selain itu, Tremas juga dikenal sebagai pusat pendidikan yang antipenjajah. Sebelum ke Tremas, Ali yang sewaktu kecil suka menonton wayang ini pernah dikirim ke Pekalongan untuk belajar kepada Kiai Amir, selain belajar di bawah bimbingan langsung kedua orang tuanya.  

Sekitar delapan tahun Kiai Ali belajar di Tremas. Ia berhasil menimba ilmu dan memperoleh bimbingan kepemimpinan. Sebagai putra seorang kiai besar, beliau memang dihormati oleh keluarga Pesantren Tremas. Dia tidak tinggal di asrama bersama santri lain, tetapi ditempatkan di kompleks rumah Kiai Dimyathi.

Kendati tinggal di kompleks rumah Kiai Dimyathi, hal ini tidak menjadikan Ali membatasi diri dari pergaulan dengan santri lain. Selama mondok di Tremas, Ali tidak kesulitan mengikuti pengajian yang diberikan Kiai Dimyathi. Ketika belajar di Tremas inilah, ia mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran para ulama pembaru dunia, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. 

Di kamarnya, ia membaca kitab-kitab karangan para ulama pembaru ini, suatu hal yang tidak lazim dipelajari di pesantren pada masa itu. Dibandingkan dengan para santri lain, Ali dikenal mahir berbahasa Arab. Dia memang sangat menyenangi pelajaran bahasa Arab. Tidak saja untuk memahami kitab kuning, tetapi juga untuk dipraktikkan dalam berbicara dan menulis. 

Ia mempunyai koleksi buku-buku dan majalah baru berbahasa Arab yang diperolehnya dari teman-teman ayahnya atau keluarga Tremas yang ada di Timur Tengah. 

Setelah menyelesaikan pendidikan di Tremas, Ali memutuskan kembali ke Lasem untuk membantu ayahnya mengajar di Pesantren Al-Hidayat. Pada 1938, dia dijodohkan oleh ayahnya dengan putri KH Munawir—pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta—yang bernama Rr Hasyimah. 

Baru beberapa hari menikmati masa bulan madu, Kiai Ali ditawari pergi haji ke Makkah atas biaya dari seorang dermawan. Kendati dengan perasaan berat, dia menerima tawaran tersebut. Selama di Makkah, di samping menunaikan ibadah haji, dia juga memperdalam ilmu keislaman dan bahasa Arabnya. 

Ia bermukim di Makkah selama dua tahun dan belajar kepada Sayyid Alwy al-Maliky dan Syekh Umar Hamdan. Selain itu, ia juga menjalin hubungan dengan ulama lain, serta dengan berbagai lembaga dakwah dan madrasah yang ada di Makkah saat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement