Rabu 23 Oct 2019 13:57 WIB

ACT Bangun Shelter di Halmahera Selatan

Dari 22 unit yang direncanakan dibangun, 4 unit diantaranya sudah rampung.

Sejumlah pengungsi korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi berada di sekitar hunian atau shelter sementara di Kawasan Integrated Community Shelter (ICS) bantuan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kelurahan Duyu, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (8/12/2018).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Sejumlah pengungsi korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi berada di sekitar hunian atau shelter sementara di Kawasan Integrated Community Shelter (ICS) bantuan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kelurahan Duyu, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (8/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) membangun hunian sementara untuk para penyintas dampak gempa magnitudo 7,2 di Desa Wayatim, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis Kurniawan mengatakan proses pengerjaan family shelter di Wayatim baru berjalan satu pekan.

Dari 22 unit yang direncanakan dibangun, empat unit diantaranya sudah rampung dan siap untuk ditempati. "Sementara ini baru Desa Wayatim, kerusakan bangunan rumah warga di sana juga cukup masif. Karena pengerjaan baru dilakukan satu minggu, yang baru selesai empat unit dari 22 unit yang rencana akan dibangun," ucap dia.

Baca Juga

Diketahui gempa bermagnitudo 7,2 yang mengguncang Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara pada 14 Juli 2019 telah menyebabkan sedikitnya 60 rumah di kawasan pesisir di Desa Wayatim rusak. Lukman mengatakan pembangunan family shelter di Desa Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan terisolasi dengan akses jalan yang tidak mudah. Keadaan itu membuat tim ACT kesulitan untuk membawa bahan-bahan material ke sana.

Untuk bisa membawa material bangunan ke Wayatim, kata dia tim ACT harus menempuh perjalanan darat selama empat jam dari Kota Labuha, Pulau Bacan. Perjalanan melintasi tujuh desa di Kecamatan Bacan Timur Tengah, yakni Babang, Tawa, Songa, Bibinoi, Tabapoma, Tutupa kemudian Tomara.

Perjalanan menuju Desa Tomara terbilang cukup sulit, karena harus melintasi lima sungai tanpa jembatan yang mana tidak bisa dilewati kalau sedang turun hujan. Setelah sampai di Desa Tomara, tim ACT kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Wayatim melalui jalur laut selama satu jam dengan menyewa kapal nelayan setempat, agar bisa mengangkut satu ton bahan material.

"Setelah sekian lama gempa, pembangunan di Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan akses ke sana juga cukup sulit, sehingga memang membutuhkan waktu untuk bisa memulai proses pengerjaan," ucap Lukman.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement