REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengikuti teladan Nabi dan Walisongo, Nahdlatul Ulama (NU) selalu memandang kebudayaan secara positif dalam praktik dan dakwah agama. Berdakwah selalu harus dilaksanakan dengan cara yang bijaksana termasuk memandang kebudayaan dalam berdakwah.
Wakil Sekjen Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Masduki Baidlowi, menjelaskan kebudayaan tidak bertentangan dengan agama secara inhern. Sebaliknya, justru kebudayaan selalu bisa menjadi instrumen melaksanakan keyakinan agama agar menjadi lebih kafah.
"Dalam pandangan fikih, bahkan tradisi atau budaya dapat menjadi sumber sebuah hukum (Islam), inilah wujud dari Islam Nusantara, Islam yang memberikan apresiasi dan afirmasi terhadap kebudayaan dan tradisi," kata KH Masduki kepada Republika.co.id di Gedung Kesenian Jakarta dalam rangkaian acara peringatan Hari Santri 2019, Selasa (22/10).
Ia menyampaikan, NU memandang keragaman sebagai keniscayaan atau sunnatullah. Keragaman adalah anugerah (rahmat) yang harus disyukuri sekaligus menjadi energi untuk maju bersama.
Keragaman tetap harus melahirkan persaudaraan antarumat manusia. NU merumuskan tiga jenis persaudaraan yakni ukhuwwah basyariyah-insaniyyah, islamiyyah, dan wathaniyyah.
Islam menjamin hak-hak dasar yang harus dijaga dalam hubungan antarmanusia (al-huquq al-insaniyyah fi al-Islam). Dirumuskan dalam al-dlaruriyyat al-khamsah atau lima hak dasar yang harus dijamin sebagai manusia. Di antaranya hifdz al-din (memelihara agama), hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-'aql (memelihara akal), hifdz al-nasl (memelihara keturunan), dan hifdz al-maal (memelihara properti).
"Bagi NU, agama Islam dan negara (demokrasi) memiliki hubungan kompatibel, bukan alternatif. Keluhuran ajaran Islam bisa masuk ke dalam sistem (bermasyarakat dan bernegara) apapun," ujarnya.
Kiai Masduki menjelaskan, Islam memiliki prinsip dan nilai yang harus dipegang dalam hubungan berorganisasi, termasuk dalam level bernegara. Islam tidak merekomendasikan satu sistem khusus dalam berorganisasi (bernegara). Sejarah perjalanan NU telah menunjukkan komitmen dan pemahaman tentang hubungan yang kompatibel antara agama dan negara (demokrasi).
"NU memandang Indonesia sebagai Darussalam, NU menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, Fatwa Resolusi Jihad, dan NU menjadi ormas agama yang pertama menerima Pancasila sebagai asas tunggal," jelasnya.