REPUBLIKA.CO.ID,CALIFORNIA -- Kelompok kebebasan sipil yang berbasis di Amerika Serikat, CAIR, menyatakan bahwa sekitar dua dari lima siswa Muslim di negara itu menghadapi sejumlah bentuk 'bullying'. Menurut pengamat anti-Islamofobia, dua dari setiap lima siswa Muslim di California, AS, menghadapi intimidasi atau bullying yang berlangsung lama, jumlah yang menurutnya lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional.
Temuan tersebut disajikan oleh kelompok hak-hak sipil Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR), yang didasarkan pada survei yang dilakukan terhadap 1.500 pelajar Muslim berusia antara 11 dan 18 tahun. CAIR menyatakan, 42 persen siswa Muslim di California telah menghadapi sejumlah bentuk bullying.
"Hasil survei menunjukkan bahwa siswa Muslim merasa kurang aman, kurang disambut dan dihormati di sekolah mereka daripada siswa lain, dengan 40,4 persen responden melaporkan mengalami beberapa bentuk intimidasi (bullying), lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional," kata CAIR, dilansir di TRT World, Jumat (11/10).
Penelitian serupa yang dilakukan pada 2017 menemukan, bahwa lebih dari setengah siswa Muslim di California mengalami sejumlah jenis intimidasi. Laporan lengkap tentang bullying yang dialami siswa ini ditulis dalam judul "Singled Out: Islamophobia in the Classroom and the Impact of Discrimination on Muslim Students", yang akan dirilis Rabu pekan depan.
Sebelumnya pada 2014, sebuah survei menemukan bahwa Muslim hanya membentuk sekitar satu persen dari populasi di California. Namun, hampir sebanyak 3,5 juta Muslim tinggal di AS.
Temuan dari penelitian baru CAIR ini datang di tengah peningkatan dalam Islamofobia secara nasional, yang banyak didukung oleh pertumbuhan sayap kanan. Menurut para kritikus, hal itu digerakkan oleh retorika anti-Muslim yang sering dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump.
Selama kampanye presiden, Trump pernah berjanji untuk menutup akses masuknya Muslim ke AS dan melayangkan gagasan untuk membuat basis data pelacakan Muslim di negara itu. Selama menjabat sejak Januari 2017 lalu, ia berulang kali menyasar kaum Muslim, dan berusaha melarang pelancong dari beberapa negara mayoritas Muslim serta mengurangi jumlah pengungsi dari negara mayoritas Muslim untuk tinggal di AS.
Pusat Studi Ujaran Kebencian dan Ekstremisme yang berbasis di California baru-baru ini merilis sebuah laporan yang menemukan, bahwa kejahatan rasial tumbuh sebesar sembilan persen di 30 kota besar di AS. Menurut penghitungannya, Biro Investigasi Federal (FBI) menemukan bahwa kejahatan rasial meningkat sebesar 17 persen pada 2017.
Bulan lalu, CAIR juga merilis laporan yang mendokumentasikan 10.015 insiden bias anti-Muslim sejak 2014. Dikatakan, bahwa tidak hanya jumlah insiden bias yang meningkat, namun juga sifat kekerasan insiden juga melonjak.
"Dari 2014 hingga Juni 2019, CAIR di seluruh negeri mencatat total 1.164 kejahatan kebencian anti-Muslim termasuk kekerasan fisik dan kerusakan harta benda. Kejahatan berlatar kebencian terhadap komunitas Muslim Amerika dilaporkan meningkat setelah 2015 masuknya Donald Trump ke pemilihan presiden," kata CAIR.
Selama pemilu paruh waktu pada 2018, pengamat yang juga Advokat Muslim berbasis di Washington DC merilis laporan yang merekam sebanyak 80 contoh retorika anti-Muslim yang jelas yang digunakan para kandidat politik pada 2017 dan 2018. Dalam banyak contoh yang didokumentasikan oleh Advokat Muslim, kandidat politik dari Partai Republik telah membangkitkan rasa takut terhadap Muslim dan berusaha menghubungkan Muslim dengan terorisme.
Selain itu, pada 2018 the Southern Poverty Law Center (SPLC), sebuah lembaga pengamat berbasis di Alabama yang memantau kelompok kebencian, mencatat setidaknya ada 100 kelompok anti-Muslim yang beroperasi di seluruh AS. Salah satunya, adalah kelompok anti-Muslim AS yang terkenal yang bernama ACT!.