Jumat 11 Oct 2019 22:11 WIB

Bagaimana Agar Undian Berhadiah tak Langgar Syariah?

Undian berhadiah bisa berpotensi melanggar syariat.

Undian berhadiah handphone (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Undian berhadiah handphone (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Undian berhadiah, belakangan menjadi marak. Cara tersebut biasanya ditempuh korporasi atau produsen tertentu untuk menggaet konsumen dan menarik minat pembeli. 

Lantas bagaimana fikih Islam memposisikan undian berhadiah? Menurut anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia MUI, Oni Syahroni, prinsip dasarnya, undian (qur'ah) hanya alat/ media yang netral, baik sebagai tools promosi produk bisnis atau permainan. 

Baca Juga

Jika target dan kontennya positif, kata dia, menjadi tools dan media yang positif, begitu pula sebaliknya. “Oleh karena itu, ketentuan hukumnya bergantung pada kontennya dengan memenuhi rambu-rambu (dhawabith) syariah,” kata dia sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika, Jumat (11/10).  

Dia mengatakan, di antara rambu-rambu tersebut yaitu yang pertama, hadiah undian bersumber dari dana perusahaan (penyelenggara undian), bukan bersumber dari iuran yang ditransfer peserta. Oleh karena itu, hadiah undian yang bersumber dari kontribusi para peserta undian tidak diperkenankan.

Kedua, perusahaan penyelenggara program tidak memanfaatkan iuran peserta tersebut (sebelum dikembalikan kepada peserta undian), baik dalam bentuk penempatan investasi atau lainnya.

Menurut Oni, kedua poin tersebut dimaksudkan agar undian berhadiah terhindar dari unsur maisir (judi) dan agar tidak menjadi modus hadiah bersumber dari penempatan iuran peserta, dengan salah satu indikatornya terhindar dari unsur zero sum game.

Sebab, kata dia, setiap permainan baik berbentuk game of chance, game of skill, ataupun natural events, harus menghindari terjadinya zero sum game, yakni kondisi yang menempatkan salah satu atau beberapa pemain harus menanggung beban pemain lain, atau setiap permainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut.

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan." (QS al-Maidah: 90).

Dia menjelaskan maisir (qimar, juzur, siham,dan nard al-qadh liqtisamil juzu') yang dilarang dalam ayat tersebut itu diterjemahkan kriterianya oleh para ulama kontemporer. Di antaranya Syekh Rafiq Yunus al-Mishri yang menjelaskan bahwa sebuah transaki atau permainan bisa dikategorikan sebagai maisir jika memenuhi unsur (a) taruhan dan mengadu nasib (mukhatarah/murahanah), maksudnya setiap peserta bertaruh untuk menjadi peme nang atau setiap taruhan di mana menang atau kalah ditentukan oleh sesuatu yang tidak diketahui. (b) Hadiah yang dipertaruhkan adalah kontribusi peserta. (c) Pemenang mengambil hak orang lain yang kalah. 

Oni melanjutkan, rambu yang ketiga yaitu barang/jasa yang menjadi hadiah undian itu halal menurut syariah dan legal menurut peraturan perundang-undangan. Keempat, jika program tersebut adalah promo produk per usahaan, maka akan lebih baik mendapatkan sertifikat kesesuaian syariah dari otoritas terkiat seperti otoritas fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. “Sebagaimana juga kaidah: "Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Mengutip al-Qawa'id al-Hakimah li Fiqh al-Muamalat, karya Yusuf al-Qaradhawi, dia menjelaskan juga karena salah satu target bisnis itu mendapatkan keuntungan (al-istirbah) sehingga memasarkan produk agar dikenal dan diminati oleh konsumen menjadi keniscayaan.   

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement