REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hari Santri Nasional (HSN) akan diperingati pada 22 Oktober mendatang. Sesuai dengan tema HSN 2019, santri diharapkan ikut berperan dalam perdamaian dunia. Karena itu, diperlukan santri yang dapat berpikir global sekaligus mampu berkiprah di kancah internasional.
Wartawan Republika Iit Septyaningsih berkesempatan mewawancarai Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng KH Solahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah. Berikut kutipannya.
Bagaimana cara agar santri bisa bersaing di kancah internasional?
Kalau internasional, sepertinya masih jauh. Rasanya masih perlu bekerja keras dalam waktu cukup lama. Untuk itu, mutu gurunya pun perlu diperhatikan. Secara umum kami coba tingkatkan mutu guru karena kuncinya di guru.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para guru di pondok pesantren. Pertama penguasaan terhadap pelajaran, kedua kemampuan mengajarnya, dan ketiga sikap si guru sendiri.
Bagaimana cara meningkatkan kualitas guru di pondok pesantren?
Kami mencoba melatih guru-guru supaya bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Kemudian, kami mencoba (membuat) pelatihan gerakan sekolah menyenangkan. Itu bertujuan supaya murid-murid melihat pelajaran tidak sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Jadi, guru harus mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga murid nyaman.
Pelatihan tersebut sudah kami adakan sebanyak dua kali, pertama pada Desember lalu dan kedua, pada Juli kemarin. Rencananya akan kami adakan pelatihan lagi.
Selain guru, apa lagi yang harus dibenahi pesantren agar bisa menciptakan santri yang berkualitas internasional?
Pesantren itu memiliki kekhususan, yakni santri tinggal di pondok atau di kamar-kamar pesantren. Biasanya, di dalam satu kamar terdapat seseorang yang kami sebut sebagai pembina yang bertugas membina santri. Nah, mereka juga harus dididik, diajari, dan dilatih supaya bisa menjalankan tugas sebaik-baiknya. Tugas mereka selain membimbing santri, mereka juga harus bisa menjadi kawan para santri.
Jadi, bukan tugas mudah. Maka, kami lakukan pendidikan dan pelatihan juga untuk mereka sekitar 3,5 bulan. Termasuk di dalamnya magang selama satu bulan di berbagai pesantren. Semua perlu waktu dan tidak mudah. Sekarang kami juga berpikir, guru selama ini transfer pengetahuan, padahal sekarang melalui media sosial dan daring bisa mencari informasi.
Jadi, kita harus latih guru agar tidak hanya transfer pengetahuan, tapi juga mengajari siswa atau santri untuk memilih informasi yang valid lalu mengolahnya kemudian mencoba melatih para santri supaya berpikir kreatif.
Bagaimana mendidik agar santri sadar dengan kondisi global?
Ya dengan melatih para guru dulu. Para guru dipersiapkan supaya bisa mendidik anak-anak sekaligus meningkatkan kemampuan mereka sehingga santri sudah lebih siap ketika masuk ke perguruan tinggi.
Semua bermula dari guru. Bila dilihat, kondisi guru secara nasional tidak menyenangkan. Pasalnya, yang bisa melalui uji kompetensi guru, mungkin kurang dari separuhnya. Jadi, harus kerja keras. Tidak mudah menjadi guru yang baik.