Kamis 03 Oct 2019 10:42 WIB

Imam An-Nawawi: Penghidup Agama dari Nawa

Sejak kecil, Nawawi sudah menunjukkan kecerdasannya dalam bidang agama.

Kitab Riyadh Al-Shalihin karya Imam Nawawi
Foto: blogspot.com
Kitab Riyadh Al-Shalihin karya Imam Nawawi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Imam Nawawi bernama lengkap Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri al-Hizami an-Nawawi. Ia dilahirkan pada bulan Muharram 631 H/Okotber 1233 M di Desa Nawa, yang terletak di Dataran Hauran, Suriah Selatan. Namanya dinisbahkan dengan desa kelahirannya.

Nawa terletak di Dataran Hauran atau Bashan, yang berada di antara perbukitan vulkanis Jabal ad-Duruz dengan ketinggian 1.801 meter dari permukaan laut (dpl) dan Jabal asy-Syaikh (Gunung Hermon, 2.814 m).

Baca Juga

Tanah di Nawa ini memiliki banyak batu, namun merupakan lahan yang sangat subur. Konon, di Nawa inilah Nabi Ayub Alahissalam dulunya bertempat tinggal. Bahkan, ada yang menyatakan kuburan Sam bin Nuh juga berada di daerah ini. Namun, itu semua tak membuat Nawa dikenal di seantero dunia.

Nawa menjadi terkenal dengan munculnya salah seorang putra terbaiknya pada abad ke-7 Hijriyah. Dengan jasanya pula, Nawa akan selalu dikenal umat Islam, termasuk pengikut Mazhab Syafi'i. Setiap orang akan menyebut namanya dan tanah kelahirannya, Nawa.

Imam an-Nawawi, demikian biasa tokoh utama ini disebut, dijuluki dengan gelar Muhyidin (penghidup agama), sebuah nama yang kurang disukainya. Ayahnya, Syaraf bin Murri (685 H/1286 M), adalah pemilik toko di Nawa. Ayahnya juga dikenal sebagai seorang yang zahid dan wara'.

Sejak kecil, Nawawi sudah menunjukkan kecerdasannya dalam bidang agama. ''Ketika lahir, ia sudah tercatat dalam kelompok al-Shadiqin (orang-orang yang benar),'' begitu komentar banyak orang saleh.

Ayah Nawawi merawat dan mengasuh Nawawi dengan baik. Tanda-tanda Nawawi kecil akan menjadi orang besar sudah diketahui sang ayah sejak ia masih bocah. Ketika Nawawi bermumur tujuh tahun, pada malam 27 Ramadhan, ia tertidur di samping sang ayah. Pada pertengahan malam, Nawawi terbangun dan membangunkan ayahnya. ''Ayah, sinar apakah yang menerangi segenap rumah kita,'' tanya Nawawi kepada ayahnya.

Menurut ayahnya, seluruh anggota keluarganya akhirnya terbangun mendengar perkataan Nawawi. ''Kami sekeluarga justru tidak melihat apa-apa. Kemudian, aku mengerti bahwa itu adalah Lailatul Qadar,'' kata sang ayah mengenai keistimewaan Nawawi. Lailatul Qadar diterimanya sejak Nawawi masih kecil.

Saat berusia 10 tahun, Nawawi ikut membantu ayahnya di toko. Namun, ia masih menyempatkan diri belajar Alquran dan ilmu lainnya kepada ulama yang ada di Nawa. Hingga berusia 18 tahun (649 H), sang ayah kemudian membawanya ke Damaskus yang menjadi kiblat para pelajar di zaman itu. Setelah bertemu dengan khatib dan imam Masjid Jami al-Amawi, Syekh Jamaluddin Abd al-Kafi ad-Dimasyqi (wafat 689 H), Nawawi dibawa pada seorang mufti di Syam, Abdurrahman al-Fazari, yang masyhur dengan nama al-Farkah (wafat tahun 690 H).

Al-Farkah adalah guru pertama Nawawi di Damaskus. Pada usia 19 tahun, Al-Farkah sempat membawa Nawawi untuk belajar pada al-Kamal Ishaq al-Maghribi (w 650 H). Di madrasah milik Syekh Al-Kamal ini, yaitu ar-Rawahiyah, Nawawi ditempatkan di sebuah rumah mungil. Di rumah inilah, Nawawi menetap dan bertempat tinggal hingga Syekh Al-Kamal meninggal dunia.

Guru Nawawi lainnya adalah Abdurrahman bin Nuh Al-Maqdisi (w 654 H) dan Umar bin Asad al-Irbili dalam bidang fikih. Dalam bidang hadis, Nawawi belajar pada Ibrahim bin Isa al-Andalusi al-Mishri ad-Dimasyqi (w 668 H) dan Abdul Aziz bin Muhammad Al-Anshari (w 663 H0). Dalam bidang bahasa Arab, Nawawi berguru pada beberapa ulama besar di Damaskus.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement