Selasa 01 Oct 2019 01:38 WIB

PCINU Belanda Gelar Diskusi Restorasi Gambut Indonesia

Restorasi gambut di Indonesia terkendala kebakaran hutan.

Kebakaran lahan gambut (ilustrasi)
Foto: Antara
Kebakaran lahan gambut (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup (LPLH) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda menggelar diskusi tentang restorasi gambut dan kebakaran hutan di Indonesia. Diskusi tersebut berlangsung di Gedung Forum, Wageningen University, The Netherlands akhir pekan lalu.

Deputi III Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia, Myrna A Safitri, menjadi narasumber dalam diskusi tersebut. 

Baca Juga

Dia menyampaikan luas lahan gambut yang mengalami kerusakan dan perlu di restorasi saat ini 2,7 juta hektare. Luas sebesar itu tersebar di tujuh provinsi di antaranya Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

"Ketujuh provinsi ini menjadi pusat Badan Restorasi Gambut dalam melakukan restorasi gambut di Indonesia," kata Myrna melalui keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (30/9). 

Dia menerangkan, faktor penghambat keberhasilan restorasi gambut di Indonesia sangat beragam. Salah satunya adalah kebakaran hutan yang masih kerap terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan biasanya terjadi karena ada pembukaan lahan untuk menanam tanaman pertanian. 

Menurutnya, pelarangan membakar hutan untuk pembukaan lahan menimbulkan polemik tersendiri di tengah masyarakat. Sebab pembakaran lahan dianggap sebagai cara paling cepat dan murah untuk membuka lahan. Terutama untuk lahan-lahan yang berada di remote area.

"Sehingga untuk beralih dari metode (pembakaran hutan) ini diperlukan alternatif metode pembukaan lahan yang comparable. Namun tentunya hal ini menjadi PR bersama dalam mengelola lahan gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," ujarnya.  

Narasumber lainnya, Environmental Science Analysis Group dan Dosen Universitas Palangkaraya, Saritha Kittie Uda yang melakukan riset Sustainable Peatland Management in Indonesia. 

Dia menyampaikan bahwa perlu penanaman tanaman paludikultur atau tanaman-tanaman yang dapat tumbuh di lahan tanpa melakukan pengeringan lahan gambut.

"Penanaman tanaman paludikultur dapat menjadi salah satu solusi dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Contoh tanaman ini di antaranya adalah sagu, shorgum, dan lain sebagainya," ujarnya.  

Mahasiswa di Wageningen University ini mengakui kendala utama untuk strategi penanaman tanaman paludikultur adalah market development atau pasar untuk menampung produk-produk tanaman paludikultur.  

Sementara, tanaman sawit lebih atraktif dari segi market share. Sehingga masyarakat lebih memilih menanam tanaman sawit. "Padahal tanaman sawit memerlukan pengeringan lahan gambut," ujar Saritha.

Selama sesi diskusi, mahasiswa Wageningen University yang berasal dari lintas disiplin ilmu melontarkan berbagai pertanyaan. Mulai dari pertanyaan tentang potensi pengelolaan lahan gambut untuk budidaya perikanan dan peternakan. Hal yang dikritisi adalah pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan (WAZ).

 

Fuji E Permana

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement