Senin 30 Sep 2019 18:48 WIB

Santri Diharapkan Jadi Kader Ulama yang Dapat Menyejukan

Indonesia memiliki santri yang jumlahnya sangat banyak.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.
Foto: EPA/Fully Handoyo
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2019 bertema 'Santri Mendunia: Tradisi, Eksistensi, dan Perdamaian Global' telah dilaksanakan di Ma’had Aly Saidussiddiqiyah, Jakarta Barat pada 28-30 September 2019. Dalam Muktamar tersebut, santri yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia dinilai bisa menampilkan wajah Islam damai kepada dunia.

Penanggung jawab pelaksana kegiatan Muktamar Pemikiran Santri Nusantara, Aceng Abdul Aziz mengatakan, suara ulama sangat didengar oleh masyarakat Indonesia yang religius. Maka santri diharapkan menjadi kader ulama yang dapat menyejukkan.  

Baca Juga

"Saya yakin apabila santri sejak awal kita beri ide-ide, wacana dan cara berpikir dari perspektif perdamaian, maka kedepan akan menghasilkan ulama-ulama yang sejuk dan didengar oleh masyarakat," kata Aceng kepada Republika, Senin (30/9).

Ia berpandangan, Indonesia memiliki santri yang jumlahnya sangat banyak. Kalau kalangan santri pada umumnya bisa menampilkan wajah Islam yang ramah dan damai. Maka santri akan mewarnai konteks sosial secara keseluruhan di Indonesia yang damai.

Menurutnya, ketika Indonesia damai, maka bisa mewarnai dunia lebih baik lagi. Oleh karena itu, Aceng menyampaikan, di dalam Alquran dan Hadis banyak wacana perdamaian, maka para santri harus menggalinya. "Jadi sebetulnya masih banyak yang harus kita lakukan di lingkungan santri dalam rangka memberikan kontribusi terhadap perdamaian dunia," ujarnya.

Kasubdit Pendidikan Diniyah dan Ma'had Aly pada Kementerian Agama (Kemenag) ini menjelaskan, santri harus lebih menggali dan menyampaikan wacana perdamaian juga untuk merespon kondisi global saat ini. Sebab di era digital arus informasi sangat deras, berbagai paham dan pemikiran masuk dengan cepat dan mudah.

Seperti diketahui, Aceng menjelaskan, sekarang banyak sekali paham atau cara memahami agama yang awalnya ramah menjadi agak kurang ramah. Belajar agama harusnya menjadi semakin lembut tapi ada yang menjadi keras. Sehingga dikatakan ada cara berpikir yang ekstrem dan radikal dalam memahami Islam

"Ini (cara berpikir ekstrem dan radikal dalam memahami Islam) menjadi akar kekerasan di dalam masyarakat, maka kita minimalisir, santri harus berusaha bersikap toleran, moderat, berpikir damai, dan mengurai konflik sedini mungkin," ujarnya.

Muktamar Pemikiran Santri Nusantara digelar sebagai rangkaian acara memperingati Hari Santri 2019. Muktamar tersebut ditutup pada Ahad (29/9) malam. Muktamar terbagi dalam dua bentuk di antaranya Call for Papers dan Panel Sesion. Kegiatan tersebut diikuti oleh 126 peserta santri dan alumni pesantren dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda, seperti kiai, ustaz, peneliti, dosen, dan mahasiswa atau mahasantri.

Pada Muktamar ini panitia menerima 547 naskah Call for Papers, tapi hanya 126 naskah yang terpilih. Para peserta Muktamar mempresentasikan penelitian di bidang kajian yang terbagi ke dalam tujuh subtema. Pertama, santri dan wajah ramah pesantren di dunia. Kedua, pedagogi pesantren dan perdamaian dunia.

Ketiga, modalitas pesantren dalam mewujudkan perdamaian dunia atau pesantren’s capitals in promoting peaceful). Keempat, pesantren dan resolusi konflik. Kelima, santri, cyber war dan soft literacy. Keenam, akar moderasi dan perdamaian (as-Silm) dalam tradisi Kitab Kuning. Ketujuh, kesusastraan dan pesan damai pesantren.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement