REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren (RUU Pesantren) dalam sidang paripurna pada Selasa (24/9). Ormas-ormas Islam yang memayungi lembaga-lembaga pendidikan menyambut disahkannya regulasi yang akan menjadi payung hukum pondok pesantren tersebut.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berpesan agar UU Pesantren dilaksanakan dengan komitmen dan konsisten. "Yang penting sekarang adalah komitmen dan pelaksanaan UU Pesantren yang konsisten, terutama oleh menteri agama," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, kepada Republika, Selasa (24/9).
Mu'ti mengatakan, banyak sekali pasal-pasal dalam UU Pesantren yang terkait dengan pesantren harus ditetapkan langsung melalui peraturan menteri agama (PMA). Sebab itu, pelaksanaan UU Pesantren sangat bergantung pada kinerja Kementerian Agama (Kemenag).
Dia menyampaikan, sebagian pasal inti yang diajukan Muhammadiyah terkait sistem pesantren yang lebih inklusif meliputi sistem yang terintegrasi dengan pendidikan umum telah diakomodasi. Karena itu, dengan tambahan pasal itu, menurut dia, pesantren yang dikembangkan ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, dapat terwadahi.
PBNU juga mengapresiasi semua pihak yang yang telah mendukung lahirnya UU Pesantren. "Boleh dibilang ini merupakan kado tersendiri bagi bangsa dan negara Indonesia," ujar Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan, KH Robikin Emhas, kepada Republika, Selasa (14/9).
Kiai Robikin mengatakan, pengesahan RUU Pesantren sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab, pesantren merupakan pilar penting dalam pembentukan karakter bangsa, penanaman nilai agama, dan nasionalisme.
Sementara itu, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) berharap UU Pesantren dapat dirasakan manfaatnya, terutama manfaat dalam bidang sarana dan prasarana serta kesejahteraan tenaga pengajar pesantren. Advokat dan Konsultan Hukum Lembaga Bantuan Hukum PP Persis, Zamzam Aqbil Raziqin, berharap UU Pesantren bisa lebih menguatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam.
"Dan (UU Pesantren diharapkan dapat) membantu menyejahterakan para ustaz atau guru pesantren," kata Zamzam saat dihubungi Republika, kemarin.
Selain itu, UU Pesantren diharapkan tidak membuat regulasi administrasi pesantren menjadi rumit. Ia mengatakan, berdasarkan informasi dari Iskan Qolba Lubis sebagai wakil ketua Komisi VIII DPR, aspirasi ormas-ormas Islam sudah diakomodasi dalam draf RUU Pesantren yang terakhir. "Jadi, pesantren di bawah ormas, seperti Persis, itu tidak perlu berbadan hukum, itu (aspirasi Persis) sudah diakomodasi," ujarnya.
Siswa SMA Darul Ulum 2 Unggulan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan praktikum di Pesantren Darul Ulum Rejoso, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (12/9/2019). (ilustrasi)
Ketua Umum Pengurus Besar al-Washliyah, Yusnar Yusuf, juga menyatakan bersyukur akan disahkannya UU Pesantren. "Sudah disetujui, alhamdulillah. Nanti kita pada perpres (peraturan presiden) saja minta dimasukkan, semuanya yang penting lolos dulu," kata Yusnar, Selasa (24/9).
Sebelumnya, RUU Pesantren dinilai Yusnar belum mengakomodasi aspirasi ormas-ormas Islam dan perkembangan pesantren. Yusnar mengusulkan supaya RUU Pesantren diubah nomenklaturnya, yang dapat memayungi semua jenis pendidikan di luar sistem pendidikan nasional.
"Al-Washliyah tidak menolak, saya secara pribadi juga tidak menolak, (tapi) ke depan perlu perbaikan mencantumkan yang bisa memayungi semua pendidkan agama," kata dia. Yusnar juga berharap UU pesantren tak mengurangi kurikulum di pesantren.
DPR mengesahkan RUU Pesantren dalam rapat paripurna kemarin. "Apakah pembicaraan tingkat II pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Pesantren dapat disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dijawab setuju oleh peserta rapat paripurna, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (24/9).
Santri Pondok Pesantren Darul Akhyar, Parungbingung, Depok, sedang mengaji kitab. (ilustrasi)
Sebelumnya, pembahasan RUU Pesantren sempat alot, khususnya terkait dana abadi pesantren. Musababnya, pemerintah menolak dana abadi pesantren menjadi dana alokasi baru. Sementara, DPR berkukuh dana abadi pesantren di luar alokasi dana abadi pendidikan.
Namun, akhirnya kedua belah pihak sepakat terkait hal tersebut. Pasal 49 ayat (1) berubah, menjadi “Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan”.
Selain itu, pasal 42 juga diubah dengan menghilangkan kata "dapat" sehingga bunyinya menjadi, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan”.
Sebelumnya, pasal definisi pesantren dalam RUU Pesantren juga sempat menimbulkan polemik. Akhirnya, redaksional draf awal RUU tersebut diubah setelah DPR mendengarkan usulan dari Fraksi PKS atas masukan dari PP Muhammadiyah. Kesepakatan itu dicapai pada Kamis (19/9) lalu.
“Bahwa sekolah yang menggabungkan pendidikan umum dan agama, tapi ada asramanya, itu masuk ke dalam definisi pendidikan pesantren," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis kepada Republika.
Karena itu, Iskan mengatakan, masukan Muhamamadiyah sudah terakomodasi di dalam RUU Pesantren. Masukan tersebut termaktub dalam Bab III tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren pada pasal 5 ayat (1). Semula ayat tersebut hanya mencantumkan dua huruf, yakni (a) dan (b).
Dalam ayat (1) itu, disebutkan bahwa “pesantren terdiri atas: (a) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian kitab kuning; (b) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk dirasah Islamiah dengan pola pendidikan muallimin”.
Kemudian, dalam rapat kerja DPR dan pemerintah pekan lalu, disepakati bahwa ada penambahan huruf (c). Bunyinya yakni "pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum”. n fuji eka permana/rossi handayani/umar mukhtar/nawir arsyad akbar, ed: fitriyan zamzami