Rabu 28 Aug 2019 18:14 WIB

1,4 Juta Perkawinan Anak di Indonesia, Mayoritas Ilegal

Perkawinan anak mayoritas ilegal karena tidak tercatat di negara.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Mahar pernikahan/ilustrasi
Mahar pernikahan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Data Badan Pengadilan Agama Mahkamah Agung menyatakan angka perkawinan anak terus mengalami lonjakan sejak 2011. Setidaknya ada 1.4 juta kasus perkawinan anak dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, dan hanya kurang dari lima persen saja yang terdata di pengadilan.    

Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Mardi Candra, menyatakan dengan demikian sebanyak 95 persen perkawinan anak di Indonesia ilegal, karena tidak terdata di pengadilan. 

Baca Juga

“Yang artinya anak yang lahir dari perkawinan itu tidak memiliki status yang diakui negara, atau tidak terdata secara sah,” kata Mardi di Jakarta, Rabu (28/8).    

Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung itu meyakini, banyaknya pernikahan ilegal disebabkan keengganan orang tua untuk mengurus pernikahan anak mereka, dan terlalu malas mengikuti prosedur pengadilan yang cukup panjang. Selain itu, pencatatan sipil, juga banyak disepelekan  orang tua, khususnya mereka yang berpendidikan rendah.   

 

“Faktor yang paling banyak menyebabkan terjadinya perkawinan anak adalah kemiskinan, dimana orang tua ingin cepat melepaskan tanggung jawab mereka atas anak perempuan mereka,” ujarnya. 

Menurut dia, permasalahan yang kerap dihadapi MA, pengadilan umum maupun pengadilan agama adalah kewenangan dalam memberikan dispensasi nikah yang erat kaitannya dengan perlindungan anak. 

Dia mengatakan, kasus perkawinan anak yang lolos dispensasi pengadilan, kebanyakan karena si perempuan telah hamil dan menuntut pertanggungjawaban sesegera mungkin.   

Namun dia mengakui masih banyak menemui tindak pemalsuan data pengajuan dispensasi nikah, mengingat selama ini tidak ada prosedur ketat untuk membuktikan kebenaran kehamilan. 

Karenanya, MA telah membentuk Pokja tentang pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin, sekaligus menyusun rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma).  Perma ini berdasar pada bahaya perkawinan yang berakhir pada perceraian. Perma ini sebagai regulasi dari produk kewenangan atribusi MA. Sebagai upaya mencegah perkawinan anak secara beradab dan holistik.

“Perma ini bertujuan mengedepankan upaya pencegahan perkawinan anak dengan mempersempit ruang gerak perkawinan anak,” tambah Mardi.

Kedepannya, Perma akan mengatur bagaimana hakim melakukan pemeriksaan terhadap kasus perkawinan anak menjadi lebih profesional dan berkaca dari banyak aspek, termasuk dari sisi anak. 

Perma ini juga berfungsi untuk melindungi hak anak dan perempuan yang kerap kali terenggut. “Hingga saat ini penyusunannya sudah 90 persen, kemungkinan bisa rangkum tahun ini,” tutupnya. 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement