REPUBLIKA.CO.ID, oleh Tamsil Linrung*
Dunia berpacu membawa obor perubahan. Letupan inovasi yang bertumpu pada kecerdasan buatan (artificial intelligent) di bidang teknologi menopang aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Semudah jentikan jemari. Sains berbasis rekayasa genetika telah mampu menciptakan tumbuhan, hewan hingga produk pangan olahan sebagai asupan gizi untuk meningkatkan produktivitas umat manusia. Temuan di bidang medis, bahkan mampu menciptakan organ bionic yang menggantikan peran organ anatomik dalam sistem fisiologi manusia.
Di tengah gemerlapnya pencapaian yang diraih, dekadensi kemanusiaan justeru semakin menyayat hati. Di sudut dunia yang lain. Potret kemiskinan, keterbelakangan pendidikan hingga minimnya akses terhadap layanan kesehatan seolah terkubur di balik menara gading realitas materialistik.
Dari tahun ke tahun, indeks ketimpangan semakin parah. Pun dengan indeks pembangunan manusia. Yang meski secara statistik telihat menanjak, namun berjalan amat lamban. Jauh di belakang melesatnya guyuran kebijakan hingga anggaran yang semakin jumbo nilainya.
Data dan angka di atas kertas, tak ubahnya detak pencapaian materi yang tampak mewah di permukaan. Namun nun jauh di lubuk terdalam, menyisakan degup keresahan. Manusia dengan segala keunggulannya memang sukses menciptakan batas-batas teritori baru. Di berbagai sektor kehidupan. Namun pada saat yang sama, tuntutan kepedulian justru semakin tampak diabaikan.
Dalam skala nasional, coba saja kita tengok anggaran pemerintah (APBN). Semakin besar dari tahun ke tahun. APBN 2020 yang belum lama ini dikumandangkan oleh Presiden Jokowi di forum terhormat MPR (DPR/DPD) juga mencanangkan banyak target tinggi. Menggambarkan betapa ambisi pemerintah untuk memupus semua problem yang membelit masyarakat. Niat baik. Meski dalam perjalannya, anggaran jumbo yang dikonsiderasi dalam UU dan jadi dokumen resmi yang fardhu’ain dipatuhi penggunaannya itu, tak sedikit yang salah sasaran. Bocor istilah kerennya. Fakta yang juga diamini oleh pemerintah.
Tak bisa disangkal, nilai jumbo yang telah melampaui angka Rp2.400 triliun itu, tak mampu mengikis angka disparitas kelompok kaya dan miskin. Pekerjaan rumah pemerintah yang tak pernah selesai. Bahkan jadi warisan dari satu rezim ke rezim selanjutnya.
Indonesia masih bertengger sebagai negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi. Bahkan Credit Suisse mencatat, satu persen orang Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Fakta yang amat menyedihkan.
Temuan itu tentu saja sangat mudah terkonfirmasi. Tak perlu jauh-jauh. Cobalah sesekali naik kereta ketika berada di Jakarta. Dari dalam gerbong, terhampar wajah kemiskinan sepanjang sisi kiri dan kanan rel kereta. Tak jauh, hanya sepelemparan batu dari pemukiman kumuh itu, berdiri gagah gedung jangkung menjulang bak hendak merogoh langit. Sebuah potret, betapa kontras kehidupan masyarakat kecil dengan kemewahan yang dikuasai segelintir konglomerat.
Ketimpangan, masih akan jadi isu dan problem sosial ekonomi yang membelit bangsa ini. Ketimpangan yang semakin mencuat di tengah derasnya arus pembangunan.
Kita apresiasi dan terus dorong program-program yang dicanangkan untuk mengikis ketimpangan. Juga diharapkan mengerek indeks kualitas hidup masyarakat. Seperti pendidikan gratis, beasiswa ke luar negeri, hingga program jaminan kesehatan nasional.
Namun, apakah program-program tadi sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan? Efektivitas program pengentasan kemiskinan dan disparitas masih diragukan. Termasuk oleh pemerintah sendiri.
Faktanya, kemiskinan, akses pendidikan berkualitas, hingga layanan kesehatan yang baik, masih jauh panggang dari api. Problem itu tentu saja bukan hanya diteropong nun jauh di Ibu Kota, atau di kota-kota metropolitan lainnya. Problem yang serupa, saya kira juga jadi tantangan pembangunan di daerah-daerah.
Ini terkonfirmasi dari data tentang angka kemiskinan di desa-desa yang melampaui kemiskinan di kota. Kemiskinan, terdistribusi merata. Padahal, kesejahteraan yang semestinya didistribusikan ke seantero penjuru Indonesia.
Kemiskinan di desa artinya pembangunan dan kehidupan masyarakat di daerah yang masih perlu dipacu. Sebagai representasi masyarakat Sulawesi Selatan di DPR, saya mengamati dalam perjalanannya, Sulsel telah mencapai banyak kemajuan. Terutama di bidang infrastruktur. Hal ini berkat dorongan putra daerah yang banyak berkiprah di level nasional.
Selain itu, posisi beberapa daerah di Sulsel, seperti Makassar dan Pare-Pare secara historis merupakan pusat perdagangan pada masanya. Masih eksis hingga hari ini, turut menjadi pemicu pembangunan daerah. Dalam spektrum yang lebih luas. Sehingga Sulsel menjadi mercusuar di kawasan Indonesia Timur. Predikat yang sering dibangga-banggakan.
Itu di Sulsel. Provinsi yang jadi gerbang Indonesia di wilayah timur. Bagaimana dengan daerah lain? Pemerataan. Saya kira pemerintah di berbagai level harus bekerja untuk mewujudkan itu.
Selain upaya pemerataan untuk mengentaskan kesenjangan, segala upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah tak boleh jadi menara gading di tengah realitas sosial masyarakat. Rakyat jangan diposisikan di ujung dari sebuah perjalanan pembangunan. Rakyat adalah elemen yang harus ada di sepanjang jalan proses pembangunan. Pelibatan masyarakat dalam kontek pemberdayaan, harus dimulai bahkan sejak awal proses pembangunan dirancang.
Paradigma keliru justru kerkembang dewasa ini dalam memosisikan rakyat di tengah gemerlap pembangunan. Seolah rakyat adalah hambatan. Atau rakyat hanya perlu dilibatkan ketika pembangunan membuahkan hasil. Ketika proyek-proyek infrastuktur selesai. Telah diresmikan.
Apalagi, tak sedikit dari proyek pembangunan yang merenggut hak-hak rakyat. Sudah banyak data dipaparkan oleh kawan-kawan kita aktivis yang konsen pada isu dan advokasi hak asasi manusia (HAM). Terutama di daerah yang kaya sumber daya alam, atau dilintasi “proyek super penting”.
Potret pembangunan yang menyingkirkan dan menggusur rakyat, saya kira bukan tabiat kita. Di Sulsel misalnya, kita memegang prinsip “sipakatau”. Prinsip adiluhung. Values yang diwariskan oleh orang tua kita untuk menegakkan kehidupan berbasis komunalitas. Sipakatau, jika diterjemahkan dalam kontek kehidupan masa kini, kita menyebutnya sebagai paradigma pembangunan berbasis kemanusiaan. Gerakan pembangunan yang saya kira juga telah menjelma jadi isu global.
Pembangunan berbasis kemanusiaan dalam konteks kehidupan berbangsa adalah melibatkan rakyat sejak awal. Dalam konteks pemberdayaan. Sehingga trickle down effect yang sering jadi slogan itu, tidak sekadar pemanis semata. Namun terlihat dan dinikmati rakyat. Bahkan ketika gemuruh pembangunan baru dinyalakan.
*) Penulis adalah Wakil Ketua Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan caleg terpilih DPD RI 2019-2024.