REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Anang Rikza Masyhadi, Pimpinan Pondok Modern Tazakka
Kisah sangat mengharukan tentang sahabat Rasul, Bilal bin Rabah, seorang berkulit hitam dari Habasyah (Etiopia)yang memiliki suara merdu. Konon, semenjak Rasulullah SAW wafat, Bilal RA menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengumandangkan azan lagi.
Ketika Khalifah Abu Bakar RA memintanya untuk menjadi muazin kembali, dengan hati pilu nan sendu Bilal berkata, Biarkan aku hanya menjadi muazinnya Rasulullah. Rasulullah telah tiada maka aku bukan muazin siapa-siapa lagi.
Maka, Abu Bakar pun tak kuasa lagi mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan azan. Abu Bakar RA sangat memahami perasaan yang berkecamuk dalam hati Bilal sepeninggal Rasul, orang yang paling dicintainya itu.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Rasulullah terus mengendap di hati Bilal. Kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah. Dia ikut pasukan Fath Islami menuju Syam, kemudian tinggal di Homs, Suriah.
Lama sekali Bilal tak mengunjungi Madinah. Sampai pada suatu malam Rasulullah SAW hadir dalam mimpi Bilal dan menegurnya, Hai, Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? (Ya, Bilal, wa maa hadzal jafa?) Mengapa sampai seperti ini? Bilal pun bangun terperanjat. Segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Rasulullah.
Setiba di Madinah, di depan makam Rasul yang mulia itu, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, pada sang kekasih. Saat itu dua pemuda yang telah beranjak dewasa mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husein.
Dengan mata sembap oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut. Salah seorang dari keduanya berkata kepada Bilal, Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan azan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami.
Ketika itu Umar bin Khattab RA yang telah menjadi khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu. Beliau juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan azan meski sekali saja.
Bilal pun memenuhi permintaan itu untuk mengenang Rasulullah SAW. Maka, saat waktu shalat tiba, dia naik ke tempat dahulu biasa dia azan pada masa Rasulullah masih hidup.
Mulailah dia mengumandangkan azan. Saat lafaz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala aktivitas terhenti. Semua terkejut. Suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok agung, suara yang begitu dirindukan itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata Asyhadu allaa Ilaha illalLaah, seluruh isi Kota Madinah berlarian ke arah suara itu sambil berteriak. Bahkan, para gadis dalam pingitan mereka pun keluar. Sebab, dahulu setiap ada suara seperti itu pasti ada Rasulullah SAW di masjid.
Mereka berlarian ke masjid karena kerinduan yang membara ingin berjumpa dengan Rasul yang telah sekian lama hilang dari pandangan mereka. Begitu suara azan Bilal terdengar, banyak yang tidak sadar bahwa Rasulullah telah wafat.
Saat Bilal mengumandangkan Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah. Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya.
Bahkan, Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan azannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu Madinah mengenang masa saat masih ada Rasulullah di antara mereka.
Hari itu adalah azan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Azan yang tidak bisa diselesaikan karena isakan tangis rindu kepada sosok Rasulullah SAW.
Ya Allah, saksikanlah, betapa dalamnya kerinduan kami kepada Rasul-Mu; sosok yang kami tidak pernah menjumpainya tetapi selalu ada dalam hati kami. Sosok yang kami nantikan syafaatnya pada hari kiamat kelak atas izinMu, ya Rabb.