REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam pertama kali dibawa ke negeri Cina oleh delegasi Muslim yang dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqas pada tahun 651 M atau dua puluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Khalifah Usman bin Affan mengirimkan delegasi tersebut untuk mendakwahkan Islam ke negeri tirai bambu itu.
Pada masa itu, Cina berada di bawah kekuasaan Dinasti Tang. Kaisarnya bernama Gaozong. Ia menyambut kedatangan delegasi Muslim dengan tangan terbuka, bahkan memberikan keleluasaan kepada delegasi Muslim itu untuk memperkenalkan risalah Nabi Muhammad SAW kepada rakyat Cina.
Berawal dari sinilah pertemuan dan percampuran dua budaya dimulai. Budaya Cina ketika itu sudah sangat maju, sementara kebudayaan Arab Islam masih dalam proses pematangan dengan melakukan berbagai adaptasi dengan budaya-budaya besar seperti Cina. Penguasa Dinasti Tang mengenal agama Islam dengan nama Dashi fa, yang berarti tuntunan hidup orang-orang Arab.
Sejarah terus berjalan, masyarakat Islam di Cina pun berkembang seiring dengan laju perkembangan masyarakat setempat. Hingga pada era kekuasaan Dinasti Song (960-1279), komunitas Muslim memainkan peran kunci di bidang perekonomian. Mereka menguasai perdagangan di jalur sutera dengan memegang pelabuhan-pelabuhan besar.
Keberadaan umat Islam dirasa semakin penting oleh masyarakat Cina ketika pada tahun 1070 Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang sebanyak 5.300 orang Muslim dari Bukhara (Uzbekistan sekarang) ke Cina untuk membangun tembok perbatasan antara daerah kekuasaan Dinasti Song dan Kerajaan Liao di sebelah timur laut.
Komunitas Muslim Bukhara itu tinggal di kawasan antara Kaifeng dan Yenchin. Pemimpin mereka yang paling terkenal bernama Pangeran Amir Sayyid, yang kemudian ditabalkan sebagai bapak komunitas Muslim di Cina. Masyarakat Cina mengenalnya dengan nama 'So-fei-er'.
Kemudian, pada masa kekuasaan Dinasti Yuan (1271-1368), pihak penguasa memasukkan umat Muslim ke dalam komunitas etnik Han. Ada upaya naturalisasi status komunitas Islam bahwa mereka merupakan bagian integral dari masyarakat Cina secara keseluruhan. Di satu sisi, kebijakan itu memang dimanfaatkan oleh penguasa untuk menguatkan dukungan politik dari orang Islam. Di sisi lain, itu membuka peluang orang-orang Islam memperluas perannya di berbagai bidang kehidupan.
Pihak kekaisaran memanfaatkan keterampilan orang-orang Arab dan Persia dalam mengelola administrasi negara, terutama di bidang perpajakan dan keuangan. Terlibatnya umat Islam dalam pos-pos penting di pemerintahan terbukti dapat memperbaiki sistem perekonomian negara.
Pada periode ini pula, sejumlah ilmuwan Muslim dari jazirah Arab datang ke Cina, berupaya mengembangkan berbagai disiplin ilmu di sana. Di bidang arsitektur, ada nama Amir al-Din yang dikenal oleh masyarakat Cina dengan sebutan Yeheidie'erding. Ia mengadopsi seni arsitektur Han untuk mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Kota Dadu, yang juga dikenal dengan nama Kota Khanbaliq.
Pengaruh umat Muslim semakin luas ketika Cina dikuasai oleh Dinasti Ming. Seorang Cina Muslim bernama Zheng He diangkat oleh Kaisar Yongle untuk memimpin tujuh ekspedisi di Samudra India pada tahun 1405-1433. Di nusantara, Zheng He lebih dikenal dengan Cheng Ho. Sejarah nusantara mencatat namanya sebagai salah satu penyebar agama Islam di kawasan ini.
Akan tetapi, kejayaan dan citra baik Islam tidak berlanjut setelah Dinasti Ming runtuh. Jalinan resiprositas antara umat Muslim dan Dinasti Qing, pengganti Dinasti Ming, tidak berjalan harmonis. Kaisar melarang umat Muslim menyembelih binatang-binatang kurban, mendirikan tempat-tempat ibadah, serta melarang mereka pergi haji ke Makkah. Akan tetapi, jalinan tersebut normal kembali hingga sekarang.