REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Raya Pekanbaru menyandang gelar sebagai masjid tertua di Kota Pekanbaru. Meski demikian, tidak berarti kondisi fisiknya tua dan rapuh. Justru, sentuhan arsitekturalnya sangat apik. Arsitektur tradisional Melayu menghiasi setiap sudut ruangan. Warna kuning pada dinding-dindingnya tampak dominan. Hal itu memberi kesan bagi masyarakat untuk senantiasa mendekatkan diri pada masjid.
Keindahan masjid yang tampak sekarang ini merupakan hasil dari beberapa kali perbaikan dan renovasi. Namun, bangunan aslinya tetap dipertahankan.
Perluasan masjid yang pertama itu diprakarsai oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, putra Sultan Alamuddin Syah. Pada tahun 1766, Sultan Muhammad Ali naik tahta menggantikan ayahandanya yang wafat pada tahun itu.
Ide memperluas masjid muncul ketika sebuah pasar yang dibangun oleh Sultan Muhammad Ali berkembang pesat. Para pedagang dari Semenanjung Malaka dan Johor serta daerah-daerah sekitarnya ramai berdatangan ke pasar itu. Jadilah ia salah satu pusat perekonomian terpenting di Sumatra.
Pada tahun 1775, perluasan masjid dimulai dan selesai pada tahun yang sama, tepatnya pada awal bulan Ramadhan. Konon, dalam upacara 'menaiki' masjid yang baru direnovasi itu, masyarakat meramaikannya dengan ritual Petang Megang. Yaitu, ritual mandi di sungai untuk menyucikan diri menyambut datangnya Bulan Ramadhan.
Dalam renovasi dan perbaikan masjid ini, peran serta masyarakat tampak begitu tinggi. Sebagaimana dituturkan Abdul Baqir Zein dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, perbaikan dan perluasan masjid raya ini melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Banyak hal yang diperbaiki, mulai dinding bangunan, tiang masjid, kubah, hingga sebagainya. Untuk tiang saka guru yang terdiri atas empat buah tiang, disediakan oleh Datuk Empat Suku (kepala-kepala adat). Sedangkan, tiang tuanya disediakan oleh Sayid Osman Syahabudin. Sayid Osman adalah menantu Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang menjadi imam besar sejak awal berdirinya Masjid Alam.
Sementara itu, elemen masjid lainnya, yakni kubah, disediakan oleh Sultan Muhammad Ali. Kubah melambangkan bahwa sultan adalah pucuk pimpinan dalam pemerintahan; Datuk Empat Suku mencerminkan tiang pemerintahan (pemegang adat); ulama laksana tiang yang menopang jalannya syariat; dan masyarakat umum adalah darah dan daging pemerintahan. Itu semua melambangkan kebersamaan dan kesatuan antara penguasa, ulama, pimpinan adat, dan masyarakat.
Setelah renovasi pertama selesai, masjid yang bernama asli Masjid Alam tersebut menjadi lebih bagus dan besar. Usulan untuk mengganti nama masjid kemudian menggelinding hingga ke telinga Sultan. Maka, disepakatilah untuk memberikan nama tambahan menjadi Masjid Nur Alam.
Nama aslinya tetap dipakai. Hanya ada nama tambahan pada nama sebelumnya, yaitu 'nur' yang berarti 'cahaya'. Nur Alam berarti cahaya bagi semesta. Pemberian nama baru itu bertujuan supaya keberadaan masjid dapat memberikan pencerahan spiritual bagi manusia melalui cahaya ilahiah.