Selasa 13 Aug 2019 17:30 WIB

Sunan Gunung Jati dan Kejayaan Banten

Islam masuk ke Banten dengan cara damai.

Rep: Islam Digest Republika/ Red: Agung Sasongko
Balai Pelestarian dan Cagar Budaya (BPCB) Banten menemukan reruntuhan bangunan Keraton Surosowan baru saat melakukan ekskavasi arkeologi yang dilakukan di reruntuhan bagian utara Keraton Surosowan, Kesultanan Banten, di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, Selasa (23/7).
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Balai Pelestarian dan Cagar Budaya (BPCB) Banten menemukan reruntuhan bangunan Keraton Surosowan baru saat melakukan ekskavasi arkeologi yang dilakukan di reruntuhan bagian utara Keraton Surosowan, Kesultanan Banten, di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, Selasa (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Legenda dalam Babad Padjadjaran mengisahkan proses islamisasi di Banten berlangsung damai. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan sebaliknya. Masuknya Islam di Banten diawali peperangan antara Kesultanan Demak dan Cirebon melawan Kerajaan Padjadjaran.

Di dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan, ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524), ia bertekad menghancurkan dominasi Portugis di Nusantara. Di tengah kobar semangat melawan penjajah itu, Kerajaan Padjadjaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis.

Baca Juga

Untuk itu, Sultan Trenggono menugaskan Fatahillah sebagai panglima perang Demak, bersama dua ribu bala tentara menyerang Banten yang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Padjadjaran. Yang berkuasa di Kadipaten Banten ketika itu adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan di Banten Girang (Banten Hulu).

Dalam perjalanan menuju Banten, Fatahillah dan pasukannya singgah terlebih dahulu di Kesultanan Cirebon. Fatahillah meminta restu dan dukungan kepada mertuanya, Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Sang sunan merestui bahkan menambah jumlah pasukan dari Kesultanan Cirebon. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin.

Gabungan pasukan Demak, Cirebon, dan Banten tidak mendapatkan perlawanan berarti dari pasukan Padjadjaran. Segera setelah pasukan Muslim merebut Banten, mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Surosowan, dekat pantai. Sebelumnya, Surosowan (Banten Lor) merupakan kota pelabuhan bagi Kerajaan Padjadjaran.

Menurut Joade Barros, salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhanpelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Padjadjaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan yang paling besar dan paling ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan. Ekonominya berkembang pesat, dan penduduknya yang terdiri atas beragam etnis hidup bersama dalam perbedaan.

Dipindahkannya pusat pemerintahan Islam dari Banten Girang ke Surowasan bertujuan untuk menarik minat para pedagang di Selat Malaka datang ke Selat Sunda. Strategi ini diusulkan oleh Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kemudian menjadi Sultan Banten yang pertama. Syarif Hidayatullah memandang perlu menjadikan Selat Sunda sebagai pusat perdagangan karena selat Malaka ketika itu berada dalam kekuasaan Portugis setelah mereka berhasil melumpuhkan Kesultanan Islam di Malaka.

Siasat ekonomi Syarif cukup jitu. Pedagangpedagang yang enggan berhubungan dengan penjajah itu akhirnya berdatang an di pelabuhan Banten meramaikan aktivitas ekonomi di sana. Jika demikian halnya, berdirinya Kesultanan Islam di Banten bukan hasil pertapaan Hasanuddin yang dalam waktu sekejap memunculkan pulau untuk mendirikan kerajaan.

Bukan pula dari upaya bim salabim para ulama saat mengislamkan masyarakat Banten. Proses islamisasi di tanah Banten merupakan hasil jihad umat Islam terdahulu yang berkomitmen menegakkan kalimatkalimat Allah di bumi Nusantara. Kesultanan Banten pada akhirnya memberikan andil yang besar dalam meletakkan fondasi Islam di negeri ini.

Hal ini ditunjukkan dengan semaraknya kegiatan keislaman di wilayah Banten. Warisan bendawi yang dapat kita lihat sampai saat ini adalah Masjid Agung Banten. Pendidikan dan dakwah dahulu dipusatkan di masjid yang terletak di sebelah barat alun-alun itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement