Ahad 11 Aug 2019 21:00 WIB

Rekayasawan di Era Kekhalifahan

para rekayasawan (engineer) merupakan posisi yang tinggi dan terhormat.

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para penguasa dan masyarakat di zaman kekhalifahan Islam menempatkan para rekayasawan (engineer) dalam posisi yang tinggi dan terhormat.  Mereka diberi gelar muhandis.  Banyak di antara ilmuwan Muslim, pada masa itu, yang juga merangkap sebagai rekayasawan.

Al-Kindi, misalnya, selain dikenal sebagai fisikawan  dan ahli metalurgi adalah seorang rekayasawan.  Selain itu, al-Razi juga yang populer sebagai seorang ahli kimia juga berperan sebagai rekayasawan. Al-Biruni yang masyhur sebagai seorang astronom dan fisikawan juga seorang rekayasawan.

Baca Juga

''Namun, beberapa tokoh seperti al-jazari mengkhususkan dirinya hanya sebagai rekayasawan,'' papar Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill   dalam Islamic Technology: An Illustrated History.  Sebagian besar rekayasawan praktisi di era kejayaan Islam tak menulis buku, sehingga namanya kurang dikenal.

Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mengabadikan namanya agar dikenal adalah dengan cara  memahatkan namanya pada bangunan-bangunan yang mereka  dirikan. Al-Hassan mencontohkan, pada gerbang kota Mardin di Diyar Bakr tergores sebuah tulisan bertarikh 197 H/910 M atas nama Khalifah al-Muqtadir bersama dua rekayasawan yang mendirikan bangunan itu.

''Salah satunya adalah Ahmad bin Jamil al-Muhandiz,'' tutur al-Hassan. Selain itu, para rekayasawan juga menulis istilah al-mi'mar untuk menyebut seorang arsitek.  Sedangkan bagi matematikus-teknik, dikenal istilah al-hasib yang berarti ''orang yang menghitung''. Sedangkan rekayasawannya mendapat gelar hasib.

''Seorang hasib dan rekayasawan atau arsitek kadangkala bertemu untuk melakukan konsultasi bersama,'' ujar al-Hassan. Pada masa itu,  sebagian rekayasawan berasal dari golongan pekerja.   Mereka memulai  sebagai pekerja bangunan, tukang kayu, atau pekerja mekanik. Setelah itu, mereka mempelajari rekayasa dan ilmu-ilmu lain untuk menjadi rekayasawan dan arsitek.

''Ada pula rekayasawan yang berasal dari ilmuwan yang mahir dalam  berbagai bidang pertukangan, yang kadang kala mereka praktikkan,'' ungkap al-Hassan. Para rekayasawan Muslim tak hanya dihormati dalam masyarakat, tetapi juga menempati kedudukan tinggi dalam pemerintahan.

Rekayasawan yang mendapat posisi penting di pemerintahan antara lain Banu Musa bersaudara. Mereka sangat dihormati dan disukai Khalifah al-Ma'mun. Tak hanya itu, mereka juga memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan politik di Baghdad, pada zaman itu.

Kadang kala, para rekayasawan dibuatkan kantor-kantor penting. Mereka juga diberi gaji serta penghargaan yang tinggi.  Al-Hassan mengungkapkan, di istana  Sultan Kerajaan Mamluk, terdapat kantor Muhandis Al Amair atau 'Arsitek Bangunan'. Dia bertanggung jawab atas semua bangunan dan penilaian bangunan, perencanaan kota.

Para rekayasawan di  Kerajaan Mamluk  diberi gelar oleh pejabat tinggi adtara lain dengan sebutan ''Yang Mulia, Yang Terhormat, Yang Terpercaya''.  Pada saat-saat tertentu gelar itu bisa bertambah tinggi lagi.

Untuk mengerjakan sebuah proyek atau pekerjaan yang sangat penting  dibentuk komite rekayasawan. Komite ini bertugas untuk merancang dan mengawasi keseluruhan proyek. Hal itu terjadi saat Khalifah al-Mansur memutuskan untuk membangun kota Baghdad. Sebelum pembangunan dilakukan, Khalifah mengirimkan para rekayasawannya untuk melakukan studi banding ke berbagai negara Islam.

''Para rekayasawan juga bertindak pula sebagai kontraktor,'' ungkap al-Hassan. Contohnya, pemerintah meminta mereka untuk menggali sebuah kanal dalam waktu tertentu, dengan biaya yang ditentukan sebelumnya. ''Mereka akan mengalokasikan bagian-bagian pekerjaan itu pada subkontraktor.'' Sistem kerja ini telah dikenal masyarakat Islam di kota Baghdad sejak abad ke-9 M

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement