Selasa 30 Jul 2019 20:54 WIB

Internet Lebih Disukai Sebagai Sarana Belajar Islam

Banyak generasi muda yang saat ini menggunakan internet untuk mempelajari Islam.

Rep: Hiru Muhammad/ Red: Didi Purwadi
Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta
Foto: dok. Republika
Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Internet telah menjadi sumber rujukan pengetahuan bagi generasi muda untuk mempelajari Islam. Tak mengherankan bila sejumlah portal Islam kini ramai dikunjungi para pengguna internet di Tanah Air 

Hasil penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bertajuk 'Memperkuat Ketahanan Kampus Sebagai Ujung Tombak Ninli-nilai Kebangsaan' menunjukkan sebanyak 31,94 persen responden mengakses youtube. Sebanyak 17,02 persen mengakses laman muslim, sebanyak 10,21 persen mengakses eramuslim, sebanyak 6,81 persen mengakses laman NU dan sisanya beragam.

Ketua Tim Peneliti, Debbie Affianty, M.Si., menyebutkan mayoritas dari mereka mengakses melalui internet ceramah ustadz Abdul Somad (53,14 persen), Hanan Attaki (6,28 persen), Adi Hidayat (4,97 persen), M. Ainun Najib (4,45 persen), Aa Gym (3,93 persen) dan sisanya beragam (27,23 persen). "Kajian melalui internet seringkali menyebabkan pengetahuan agama yang didapat menjadi tidak utuh," katanya di Jakarta, Senin (29/7). 

Menurut Debbie, hasil penelitian menyatakan sebagian besar responden masih mengandalkan Ustadz dalam pencarian pengetahuan agama. Sebanyak 90,58 persen mengikuti pengajian dengan berbagai bentuk dan sebanyak 58,12 persen responden belajar agama melalui ustadz di masjid.

 

Dr Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Muhammadiyah, menilai banyaknya generasi muda yang menggunakan internet saat ini untuk mempelajari Islam sebagai bentuk dari realitas baru emerging Islam, selain established Islam. Emerging Islam berkembang karena ditopang media sosial. Ustad yang netral dan tampil dengan gaya da'wah yang populer, akan lebih diterima. "Organisasi mapan seperti NU dan Muhammadiyah hanya bergerak di basis mereka,'' katanya. 

Penelitian yang melibatkan 27 dosen sepanjang Desember 2018 hingga Maret 2019 tersebut juga menjelaskan sebagian besar responden tidak memiliki afiliasi kepada organisasi kemahasiswaan maupun keagamaan. Sebanyak 72,25 persen responden tidak mengikuti ormas keagamaan, hanya 13,87 persen yang berafiliasi dengan NU dan 7,59 persen dengan Muhammadiyah.

Terkait dengan daya tangkal kampus sebagai ujung tombak nilai kebangsaan, Debbi menambahkan ada dua faktor yang mempengaruhi ketahanan kampus dalam mengantisipasi radikalisme. Berkaitan dengan ketahanan kampus, dukungan terhadap NKRI dan demokrasi cukup kuat dikalangan mahasiswa. Sebagian besar dari mahasiswa yang diwawancarai di kampus yang diteliti, mendukung adanya Pancasila dan demokrasi dalam sistem NKRI. 

Menurut mahasiswa, Pancasila tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Selanjutnya, kaitan tentang relasi mayoritas-minoritas, mahasiswa menganggap koeksistensi dari masyarakat yang berbeda harus dihargai. Temuan lain yang tidak kalah penting dari hasil penelitian ini adalah adalah mahasiswa menolak kekerasan atas nama agama yang sangat tinggi (85 persen) dan  terorisme atas nama agama sebagai syahid atau jihad ditolak (81 persen).

Abdul Mu'ti, juga menambahkan hasil penelitian merupakan tantangan bersama. Kampus harus menjadi basis menciptakan kebangsaan yang tinggi. Kampus yang menekankan aspek intelektualitas, perlu mengembangkan nilai-nilai intelektual.

''Karena itu, perlu ada penguatan buku ajar dan referensi utama yang dirancang memenuhi keinginan mahasiswa dalam megkaji ideologi secara kritis akademis dalam bingkai nilai kebangsaan,'' katanya. ''Sehingga, kebebasan akademik tidak keluar dari nilai-nilai kebangsaan.''

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement