REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Interaksi sosial di dalam masyarakat membuat laki-laki dan perempuan bertemu. Bagi seorang Muslim, saat bertemu tentu mengucapkan salam satu sama lain. Bagi perempuan, adakah ketentuan mengenai mengucapkan salam ini? Bolehkah mereka mengucapkan dan menjawab salam kepada laki-laki dan sebaliknya?
Ada pandangan berbeda mengenai hal ini. Suatu ketika, Shaleh Ahmad Asy-Syaami mengatakan, saat para sahabat Nabi Muhammad kembali dari shalat Jumat, mereka bertemu seorang perempuan tua di tengah perjalanan. Lalu, mereka mengucapkan salam kepada perempuan tersebut.
Setelah itu, si perempuan memberi mereka makanan yang terbuat dari akar bit dan gandum. Keterangan ini berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari. Menurut Shaleh dalam bukunya, Berakhlak dan Beradab Mulia, inilah langkah yang benar dalam mengucapkan salam kepada perempuan.
Artinya, hanya mengucapkan salam kepada perempuan yang sudah tua dan perempuan yang mempunyai ikatan muhrim. Ia juga mengutip kitab Jami karya Imam Tirmidzi yang menceritakan bahwa pernah Rasulullah lewat dekat sekelompok perempuan, beliau memberikan isyarat dengan tangan sambil mengucapkan salam.
Cerita yang sama tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Asma binti Yazid. Shaleh mengungkapkan, dari dua hadis itu intinya sama, yaitu Rasulullah mengucapkan salam kepada sekelompok perempuan dan memberikan isyarat tangan kepada mereka.
Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menjelaskan, jika memperhatikan keterangan yang menyuruh menyebarkan salam, itu tak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Rasulullah, melalui hadis yang diriwayatkan Muslim, memerintahkan untuk menyebarkan salam di antara umat Islam.
Jika saling menyebarkan salam ini dilakukan umat Islam, di antara mereka akan saling mencintai. “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan lebih baik atau balaslah dengan yang serupa,” demikian bunyi Surah An-Nisa ayat 86.
Al-Qaradhawi mengatakan, pada dasarnya perintah dalam surah itu ditujukan bagi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan. Maka itu, ujar dia, jika ada seorang laki-laki memberikan penghormatan (mengucapkan salam) kepada seorang perempuan, perempuan itu harus menjawabnya dengan lebih baik atau serupa.
Sebaliknya, jika seorang perempuan mengucapkan salam kepada laki-laki, laki-laki tersebut harus menjawabnya. Baik dengan jawaban salam lebih panjang atau serupa dengan salam yang diucapkan si perempuan. Lebih jauh, ada riwayat lain mengenai perempuan yang mengucapkan salam kepada laki-laki.
Dalam Sahih Bukhari, diriwayatkan bahwa Ummu Hani binti Abu Thalib, saat penaklukan Kota Makkah pergi menemui Rasulullah. Sesampai di tempat tujuan, ternyata Rasulullah sedang mandi dan Fatimah, putri Rasul, sedang menutup tempat mandi beliau dengan tabir. Rasul bertanya, “Siapakah itu?”
Ummu Hani menyampaikan kepada Rasul bahwa dialah yang datang. Kemudian, Rasulullah berkata, “Selamat datang Ummu Hani.” Al-Qaradhawi mengungkapkan, hal ini juga diriwayatkan oleh Muslim. Ia menambahkan, Imam Bukhari membuat bab tersendiri dalam kitab sahihnya, Bab Taslimir-Rijal alan Nisa wan Nisa alar-Rijal.
Dalam pandangan al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan judul bab semacam itu Imam Bukhari menyampaikan isyarat, dia menolak riwayat Abdur Razaq dari Ma’mur dari Yahya bin Katsir, yang menyatakan telah sampai kabar kepadanya bahwa Rasulullah tidak menyukai laki-laki memberi salam kepada perempuan dan sebaliknya.
Menurut al-Qaradhawi, ada periwayatan dari sebagian sahabat, yakni laki-laki boleh memberi salam kepada perempuan sedangkan perempuan tak boleh memberi salam kepada laki-laki. Namun, pandangan ini ditolak oleh hadis Ummi Hani di atas yang menjelaskan ia mengucapkan salam kepada Rasul saat tahun penaklukan Kota Makkah.
Padahal, Ummu Hani dan Rasulullah bukanlah muhrim. Karena Ummu Hani adalah putri pamannya, berarti mereka berdua adalah saudara sepupu. Dan, pada suatu hari, jelas al-Qaradhawi, Rasul pernah akan menikahi Ummu Hani