Jumat 26 Jul 2019 19:58 WIB

Upaya Deradikalisasi Melalui Ngaji Ushul Fikih

Para ikhwan dapat dengan bebas bertanya atau menyanggah, tetapi harus dengan rujukan.

Para ikhwan mengikuti pengajian Ushul Fikih sebagai bagian dari upaya deradikalisasi.
Foto: Dok Lembaga Daulat Bangsa
Para ikhwan mengikuti pengajian Ushul Fikih sebagai bagian dari upaya deradikalisasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Rudalku (Rumah Daulat Buku) adalah program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Daulat Bangsa dengan membuat perpustakaan di rumah para ikhwan yang pernah terpapar oleh paham radikalisme. Untuk ajang silaturahim  para ikhwan, Lembaga Daulat Bangsa melalui program Rudalku, mengadakan pengajian Ushul Fiqih, yaitu pengajian dengan menggunakan Kitab Waraqot, sebagai kitab rujukan.

Pengajian dilaksankan di kantor pusat Lembaga Daulat Bangsa,  Kompleks Jatipadang Baru, Pasar Minggu,  Jakarta Selatan. Pengajian yang ke-13 dilaksanakan pada Senin (22/7). Pengajian itu dihadiri oleh 14 orang ikhwan.

Pengajian ini, menurut Soffa Ihsan (pendiri Lembaga Daulat Bangsa), merupakan salah satu bentuk program deradikalisasi. Hal itu  karena radikalisme tumbuh kuat ditopang oleh paham agama. 

“Rudalku memberikan pemahaman dalam prespektif yang berbeda, melalui kegiatan literasi, sehingga para ikhwan dapat dengan bebas bertanya atau menyanggah, sesuai dengan pemahaman mereka.  Tetapi, pertanyaan atau sanggahan itu harus dengan rujukan pula,” kata Soffa Ihsan  dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (25/7). 

photo
Lembaga Daulat Bangsa menggelar program deradikalisasi melalui Rudalku (Rumah Daulat Buku).

Ia menambahkan, pengajian ini dibina oleh KH  Mukti Ali Qusyairi, MA, yang dilaksankan setiap bulan. Pengajian Ushul Fiqih dengan menggunakan Kitab Waroqot, menurut Mukti Ali terbagi ke dalam empat pembahasan. 

Pertama, pembahasan Ushul Fikih/Fikih yang berkaitan dengan narasi teks yang masih global (ijmaliy). “Jika ada ibadah dan berbagai perintah/larangan yang dalam teks dijelaskan secara rinci (tafshiliy), maka tidak bisa dikatakan sebagai fikih. Sebab fikih adalah dzhanny yang meniscayakan ijtihad. Jika hal yang dijelaskan secara terinci maka tidak butuh untuk diijtihadkan,” kata Mukti Ali. 

Kedua, ia menambahkan, pembahasan tentang kayfiyat al-istidlal (cara penggalian dan penalaran dalil), yaitu mendahulukan dalil khash (spesifik) atas dalil 'am (umum), muqayyad (yang dibatasi) atas muthlaq (yang tak terbatas), nasikh dan mansukh, dan yang lainnya. 

Ketiga, ushul fikih membahas tentang sifat dan karakter seorang mujtahid. Dalam disiplin ilmu ushul fikih dijelaskan hierarki kualitas keilmuan seseorang; 1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang yang menemukan metodogi istinbath/istidlal, hafal dan menguasai Alquran dan hafal ribuan hadits, dhabith, mampu memproduksi/mereproduksi pendapat. Mereka adalah  Imam Malik, Syafii, Hanafi, Hambali; 2. Mujtahid madzhab/moqayyad yaitu seorang alim yang menguasai metodologi yang dirumuskan mujtahid mutlaq dan mampu menerapkannya dalam memproduksi pandangan keagamaan; 3. Mujtahid fatwa; 4. Mujtahid tarjih.  “Ijtihad yang dulu bersifat pribadi, saat ini dikembangkan dengan ijtihad jama'iy (kolektif),” ujarnya. 

Keempat, pembahasan ushul fikih secara umum yang terkait dengan analisa linguistik, yaitu bahasa, kata, kalimat, dan huruf. “Seperti kalimat haqiqah, majaz, kalimat perintah, kalimat larangan, kalimat yang mengandung tiga aspek yaitu mantuq (ujaran), mafhum (pemahaman) dan isyarat (simbol), dan yang lainnya,” tuturnya.

Saepullah sebagai salah satu pengurus Lembaga Daulat Bangsa menegaskan,  peradaban Islam adalah peradaban teks; peradaban yang dibangun berdasarkan narasi dan kekayaan khazanah literatur. Untuk itu, dengan memahami Ushul Fiqih diharapkan para ikhwan dapat memahami pula bagaimana sebuah teks dalam Alquran maupun Hadis, tidak bisa bigitu saja dijadikan dalil, akan tetapi harus dipahami pula cara atau metode bagaimana sebuah teks dalam Alquran  atau Hadis menjadi dalil, karena dalil adalah sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang dicari. 

Sebab, kata Saepullah,  dalil sejatinya adalah teks merupakan tanda/simbol yang menunjukkan pada sesuatu yang dicari. “Sehingga jika berhenti pada teks/tanda tanpa menembus sesuatu yang tersimpan di balik tanda, maka tidak bisa disebut dalil,” tegas Saepullah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement