Senin 08 Jul 2019 19:00 WIB

Mengenal Abah Mutawally, Ulama Kharismatik dari Kuningan

Nama aslinya yakni Kiai Siradj Rasyidin. Ia lahir di kampung Huludayeuh, Desa Timbang

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Dakwah islamiyah (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Dakwah islamiyah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN --- Salah satu ulama kharismatik tempo dulu di Kabupaten Kunigan adalah Abah Mutawally. Ia tak hanya dikenal sebagai ulama yang pandai dan lembut saat menyampaikan dakwah Islam. Abah Mutawally juga tersohor dengan ilmu kanuragannya. Bahkan Abah Mutawally sering diitrogasi Belanda lantaran kerap membantu tentara Republik yang akan bergeriliya.

Nama aslinya yakni Kiai Siradj Rasyidin. Ia lahir di kampung Huludayeuh, Desa Timbang, Kabupaten Kuningan pada 1818. Namun tak ada sumber yang bisa menyebutkan tanggal kelahirannya. Meski begitu, diketahui Abah Mutawally merupakan putra dari Ki Bagus Konaan dan kakeknya adalah Ki Bagus Mijah (makamnya berada di Bukit Panyamunan Gumulung, Cirebon).

Baca Juga

Ki Bagus Konaan dan Ki Bagus Maijah merupakan ulama besar yang menyebarkan Islam di wilayah Kuningan. Dari ayah dan kakeknya itu lah, Abah Mutawally dibekali pengetahuan agama. Jika dirunut Abah Mutawally masih memiliki garis keturunan hingga Rasulullah SAW.

“Abah mutawally itu keturunan ke-14 dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, kalau dari Rasul itu keturunan ke-25,” tutur cicit dari Abah Mutawally,  Kiai Haji Nunung Abdullah Dunun atau akrab disapa Kiai Dunun kepada Republika.co.id pada Sabtu (6/7)

 

Nama abah Mutawally sendiri disematkan masyarat kepada Kiai Siradj Rasyidin lantaran dianggap sebagai sosok yang mampu mengatasi setiap masalah. Nama itu disematkan pada Kiai Siradj Rasyidin usai dirinya pulang dari tanah suci. Itu juga tak lepas dari kisah tentang kejadian luar biasa saat kapal yang dinaiki abah mutawali mati mendadak saat hendak berangkat. Namun tak seorang pun bisa memperbaiki kapal itu. Abah Mutawally pun lantas turun tangan dan mendorong kapal itu seraya meminta seluruh penumpang kapal bertasbih. Beberapa saat kemudian, kapal pun menyala.

Selain dikenal dengan nama Abah Mutawally, masyarakat juga menyebutnya sebagai Kiai Gibug. Itu lantaran Abah Mutawally berhasil membabad hutan yang kemudian di jadikan pedukuhan yang kini menjadi desa Bojong, Kecamatan Cilimus. Tak mudah untuk membabad hutan yang akan dijadikan pedukuhan, menurut Kiai Dunun yang lahir pada 1942, berdasarkan cerita turun temurun Abah Mutawally, terlebih dulu harus menyingkirkan ular besar yang melilit-litit di hutan atau disebut “ular gibug” dan tak seorang pun sanggup melakukannya.

Abah Mutawally kemudian membuka sebuah padepokan yang dikemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Mutawally. Di padepokan itu, Abah Mutawally mengajarkan kitab-kitab kuning dan ilmu kanuragan kepada para santrinya yang berdatangan dari berbagai daerah.

Konon para tentara Republik kerap secara diam-diam datang ke rumah Abah Mutawally. Tujuannya untuk meminta doa dan dibekali ilmu kanuragan sebelum terjun bergeriliya. Menurut Kiai Dunun, salah satu tentara yang belajar ilmu kanuragan adalah Letnan Kolonel (Purn) H.E. Madrohim yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan. Hingga Madrohim pun dikenal sebagai tentara yang memiliki ilmu kebal atau tak mempan di tembak.

Sikap Abah Mutawally terhadap para penjajah pun begitu tegas dan ia enggan tunduk terhadap penekanan-penekanan Belanda. Pernah suatu ketika Abah Mutawally tak mau mengikuti aturan Wedana Belanda di Kuningan yang mewajibkan jalan jongkok jika ingin melintas sepanjang jalan Cilimus.

Hal itu membuat Abah Mutawally ditangkap dan digelandang ke kantor Kewedanaan Belanda. Namun Abah Mutawally tetap enggan tunduk. Meski begitu Belanda tak berdaya dan tak mampu menghadapi kesaktian Abah Mutawally. Bahkan, seorang pejabat Belanda tak bisa bergerak dari kursi duduknya karena tubuhnya kaku saat mengintrogasi Abah Mutawally. “Abah Mutawally memang tak terjun langsung ke medan pertempuran tapi beliau di belakang, memberikan doa, memberikan ilmu hikmah yang dia miliki pada para pejuang,” kata Kiai Dunun.

Saat kecil, kiai Dunun pun pernah menyaksikan langsung karomah Abah Mutawally. Kala itu, jelas Kiai Dunun ada empat orang yang hendak mencuri beras di gudang padepokan Abah Mutawally. Namun para pencuri itu tak bisa memenukan jalan keluar untuk melarikan diri dari lingkungan padepokan. Para pencuri hanya berjalan-jalan memutar- mutar di padepokan seharian penuh. Abah Mutawally pun mengetahui hal itu dan memberikan nasihat kepada pada para pencuri. Setelah itu, para pencuri itu pun baru bisa melihat jalan keluar dari lingkungan padepokan. “Ada juga yang mencuri kelapa dan ngga bisa turun, tangannya kaku. Baru sembuh saat abah Mutawally datang,” katanya.

Abah Muttawally meninggal pada 10 November 1953 atau saat berusia 135 tahun. Ia dimakamkan di TPU Astana Gede Ciloklok, Cilimus. Saban hari-hari besar Islam, makamnya pun banyak dikunjungi peziarah teruatama para santri dari sejumlah pesantren di Kuningan. Salah satu peninggalan bersejarah yang masih ada yakni mushola Sirojurrosyidin Ath Thohiriyah. Meski tak ada prasasti yang menjelaskan tentang pembanunan mushola itu namun menurut Kiai Dunun, mushola itu dibangun bersamaan padepokan abah Mutawally.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement