REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prinsip keadilan sosial telah menjadi bagian dari Islam. Sejak awal kemunculannya, agama ini sangat menekankan praktik berbagi. Rasulullah berpesan agar umat memiliki kepedulian. “Cintailah orang-orang miskin dan dekat dengan mereka.” Prinsip ini juga dikaji dan dikembangkan lebih jauh oleh para cendekiawan Muslim.
Al-Ghazali termasuk yang paling berpengaruh dalam khazanah keilmuan itu. Kitabnya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nasihat al-Mulk mengurai kondisi sulit yang dihadapi sebagian masyarakat akibat praktik ketidakadilan sosial. Ia mendorong optimalisasi kesejahteraan sosial.
Menurut dia, penguasa harus berlaku adil dan mendistribusikan kekayaan negara kepada segenap warga agar kemakmuran bersama tercipta. Cendekiawan lain, yaitu Ibnu Taghribirdi, menyumbangkan pemikiran melalui risalah yang berjudul al-Nujum al-Zahira fi Muluk Misr wa al-Qahira.
Selain itu, ada pula al-Maqrizi dalam buku al-Mawa’iz wa al-I’tibar fi Dhikr al-Khitat wa al-Athar. Keduanya sepakat, kemiskinan merupakan buah dari ketidakadilan sosial sehingga harus ditekan. Mereka menilai, sebagai fenomena sosial, kemiskinan harus ditangani dengan memperkuat prinsip keberpihakan.
Maka itu, para sarjana Muslim mengedepankan perlunya negara berperan serta membentuk lembaga filantropi. Peran badan zakat, infak, dan sedekah dibutuhkan untuk menjamin distribusi sumber ekonomi ke seluruh masyarakat.