REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim, Prof KH Didin Hafidhuddin menilai, hasil penelitian yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan perlu dicermati metode penelitiannya. Seperti misal, belum lama ini ada hasil penelitian menyatakan mahasiswa yang belajar agama cukup tinggi sikap intoleransinya.
Hasil penelitian tersebut didapat karena banyak pertanyaan yang sengaja diarahkan dan menyesatkan. "Misalnya (pertanyaannya), setujukah anda kalau pemimpin itu non Muslim? Ya (jawabannya) pasti tidak setuju, terus dikatakan intoleran. Setujukah anda perkawinan beda agama? Ya pasti (jawabannya) akan mengatakan tidak setuju," ujar KH Didin kepada Republika, Rabu (10/7).
Menurut Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian tersebut seperti sengaja menjebak. Kalau hasil penelitian tersebut benar, dia juga meminta metode penelitiannya dipertanggungjawabkan.
Karenanya, dalam melakukan penelitian tentang sosial keagamaan, dia menyarankan agar para peneliti mengambil sampel yang banyak. Pada saat melaksanakan penelitian tentang sosial keagamaan juga harus lebih hati-hati, terutama saat menyimpulkan hasilnya.
Terlepas dari itu semua, dia menyampaikan, kalau memang hasil penelitian tersebut benar adanya, maka harus ada perubahan cara belajar-mengajar yang disampaikan dosen-dosen agama. Supaya mereka bisa menyampaikan pelajaran agama dengan menarik dan mengikuti perkembangan zaman.
Menurutnya, masih banyak mahasiswa yang suka datang ke masjid. Dia mencontohkan mahasiswa ITB, UI, IPB dan UGM. "Saya beberapa kali diundang ke UI, UGM, ITB, itu selalu penuh mahasiswa-mahasiswa di masjid, jadi memang kadang kala suka (bertanya-tanya) benar tidak penelitian itu," katanya.
Ia mengatakan, penelitian yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan perlu dicermati metode penelitiannya. Membaca hasil penelitian tersebut sangat mengkhawatirkan, tapi mempertanyakan hasil penelitian tersebut benar atau tidak.
"Ini benar atau enggak penelitian ini, kalau sudah 90,9 persen belajar sendiri dari internet berarti disimpulkan guru agama dan dosen agama tidak ada," ujarnya.
Badan Litbang Kementerian Agama (Kemenag) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa mahasiswa Muslim lebih menyukai kajian agama melalui media sosial. Sebanyak 90,9 persen dari 400 mahasiswa di empat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menyatakan lebih suka mendapat informasi keagamaan di internet.