Jumat 05 Jul 2019 06:46 WIB

Taat Hingga Batas Kemampuan

Menaati Allah, batasannya hingga maut menjemput kita.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ada sebuah kisah di dunia pesantren. Suatu kali, ada seorang ustaz yang menyuruh santrinya berlari mengelilingi sebuah lapangan hingga batas kesanggupannya. Santri tersebut pun berlari hingga beberapa putaran. Ketika ia sudah lelah, ia pun berhenti dan berkata, “Ustaz, hanya segini kemampuan saya.” Sang ustaz pun tersenyum.

Sang Ustaz pun memberi contoh. Ia berlari memutari lapangan tersebut. Telah beberapa putaran ia lewati, tubuh Sang Ustaz pun tampak kelelahan. Tapi ia tak kunjung mau berhenti. Ia tetap memaksakan kakinya menapaki tanah, langkah demi langkah. Akhirnya, Sang Ustaz itupun jatuh pingsan.

Para santri pun bergegas menolong Sang Ustaz. Ketika sudah siuman, santri pun bertanya, “Apa yang ustaz lakukan? mengapa ustaz berlari sampai pingsan?”

Sang ustaz dengan senyumnya yang masih pucat pun berpetuah, “Begitulah yang namanya berlari hingga batas kesanggupan. Jangan pernah berhenti sampai Allah SWT yang memberhentikanmu.”

Dalam beribadah kepada Allah, dikenal rumus, “Bertakwalah kepada Allah sekemampuanmu.” (QS at-Taghabun: 16). Banyak umat Islam yang berasumsi, taat kepada Allah SWT hanya sekadar kemampuan saja. Contohnya saja dalam berinfak. Ia mengeluarkan uang Rp 5 ribu, padahal di dompetnya ada ratusan ribu. Di rekeningnya ada puluhan juta. Tapi, ia mengatakan, hanya Rp 5 ribu itu saja kemampuannya untuk berinfak. Itulah yang sering ditafsirkan sekadar kemampuan saja.

Padahal, tidaklah demikian dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan para ulama. Seperti apa yang dicontohkan Sang Ustaz pesantren tadi. “Menaati Allah sekemampuanmu” maknanya adalah sampai batas kemampuan. Jangan pernah berhenti sampai Allah SWT sendiri yang memberhentikanmu.

Artinya, dalam urusan taat kepada Allah, tidak ada istilah berhenti. Taat kepada Allah berarti mempersembahkan yang terbaik kepada Allah. Taat juga, artinya memberikan secara totalitas, baik diri maupun harta kepada Allah. Tidak ada istilah berhenti dari ketaatan, sampai Allah sendiri yang memberhentikannya. Maksudnya, taat kepada Allah sampai ajal menjemput.

Surat at-Taghabun ayat 16 ini mengindikasikan, tidak ada pemaksaan di luar kesanggupan seorang hamba. Seseorang tidak harus melakukan model ketaatan, yang mana ia sendiri tidak sanggup melakukannya. Misalnya saja, dalam hal berjihad (pergi berperang), menunaikan haji, berpoligami, dan seterusnya. Tidak diharuskan melakukan sebuah sunah, yang mana sunah tersebut sudah di luar kesanggupan seorang hamba untuk melakukannya.

Namun, hamba tadi wajib untuk berusaha dan memperlihatkan kesungguhannya sampai batas kemampuannya. Ia tidak boleh berhenti untuk mencoba dan berusaha menjalankan ketaatan sebisa dan semampu yang ia bisa. Ia tidak boleh berhenti dan menyerah. Tidak ada istilah, seseorang boleh tidak taat lagi, kalau dia sudah uzur atau tua.

Dalam hadis riwayat Abi Sa'id RA, Rasulullah SAW bersabda, “Orang beriman tidak akan puas dengan kebaikan yang ia dengar sampai berakhir di surga.” (HR Tirmizi). Hadis ini mengisyaratkan, orang beriman harus terus-menerus belajar dan menambah ilmu agamanya. Tak ada kata henti untuk belajar sampai ajal menjemputnya.

Imam Ahmad bin Hanbal sendiri mengaku, “Aku mencari ilmu sampai nanti aku masuk kubur.” Tak ada kata terlambat untuk belajar agama. Bahkan, para ulama dahulu tak pernah beristirahat untuk belajar sesuatu yang baru.

Banyak yang berpikir, jika sudah tua berarti sudah terlambat untuk menuntut ilmu. Mereka berdalil dengan sebuah pepatah, “Menuntut ilmu dikala muda, bagai melukis di atas batu. Menuntut ilmu dikala tua, bagai melukis di atas air.” Padahal, pepatah ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Memang benar, orang yang sudah tua sudah sering lupa. Tapi, bukankah lupa merupakan kodrat semua manusia? Hanya kadarnya saja yang berlebih ketika seseorang sudah berumur. Fakta ilmiah telah mengungkapkan, otak manusia tetap bisa dipakai kendati sudah berumur ribuan tahun.

Imam Al-Hasan pernah ditanya seseorang yang usianya sudah 80 tahun. Apakah orang tua itu masih pantas untuk menuntut ilmu? Imam Hasan menjawab, “Jika ia masih pantas hidup.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement