REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ibnu Hasan
Rasulullah SAW pernah menjamin surga bagi siapa saja di antara kaum Muslimin yang sanggup menjaga dua hal, yaitu menjaga apa yang terdapat di antara kedua bibirnya (lisan) dan menjaga apa yang terdapat di antara kedua kakinya (kemaluan). Mengapa penjagaan terhadap lisan menempati posisi yang sangat penting di dalam agama ini?
Fakta memperlihatkan betapa lisan manusia mampu menimbulkan kekacauan sosial serta konflik yang berkepanjangan. Pertikaian seringkali bermula dari lidah yang tidak dijaga dengan baik.
Alquran menasihati kita, ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al Hujurat [49]: 12).
Dalam ayat yang lain Allah menyatakan bahwa prasangka sama sekali tidak berfaedah terhadap kebenaran (QS An Najm [53]: 28). Seringkali, kita menyangka yang bukan-bukan terhadap seseorang, padahal kita sama sekali tidak memiliki data yang pasti tentang itu. Kita juga sama sekali tidak mengetahui isi hati orang tersebut.
Bila sudah mulai menyangka yang tidak baik, maka kita pun akan cenderung dijalani pula, yaitu mencari-cari kesalahan (tajassus). Jika kita tidak suka terhadap orang lain, maka berbagai jalan akan ditempuh untuk mencari-cari hal yang salah dari diri orang tersebut. Kalau kesalahan sudah dicari-cari, maka manusia yang paling mulia pun akan tampak penuh noda di depan mata.
Prasangka dan tajassus biasanya akan dekat dengan bergunjing. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah RA dikatakan bahwa Rasulullah SAW suatu kali ditanya tentang pengertian ghibah.
''Yaitu kamu menyebut-nyebut saudara kamu tentang sesuatu yang tidak disukainya,'' terang Rasul.
''Lantas bagaimana sekiranya saudara saya seperti apa yang saya sebutkan?'' tanya orang itu lagi.
''Kalau dia seperti yang kamu ucapkan, berarti kamu telah melakukan ghibah, tapi sekiranya ia tidak seperti yang engkau katakan, maka kamu telah membuat tuduhan palsu terhadapnya.''
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia-manusia yang baik pun bisa memiliki kekurangan. Tapi, bukan berarti hal itu layak untuk diinvestigasi dengan prasangka dan tajassus serta dipublikasi dengan ghibah. Bukankah seorang hamba seharusnya merasa malu dengan teguran Tuhannya yang mengumpamakan semua itu dengan 'memakan daging bangkai saudaranya yang sudah mati'? Tidakkah kita merasa jijik karenanya?