REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kesultanan Cirebon pada saat dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah sedang berkembang pesat. Sosok yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati itu dinilai berhasil meneguhkan kejayaan Islam di Cirebon sekitar periode 1479-1568.
Pada masa itu, kemajuan terasa merata pada bidang politik, keagamaan dan perniagaan. Hal itu disampaikan peneliti Manuskrip Cirebon, Mahrus, kepada Republika.co.id.
Dia menyampaikan beberapa hasil penelitiannya atas teks-teks dari abad silam. Menurut dia, pelabuhan Cirebon diduga didirikan seiring dengan terbentuknya Cirebon sekitar tahun 1371.
Sebagai kota pesisir, Cirebon menjadi pusat perdagangan untuk daerah-daerah sekitarnya pada masa itu. Kota yang kini bagian dari Provinsi Jawa Barat itu juga menjadi pelabuhan terpenting di pantai utara Jawa (Pantura), selain Jakarta dan Semarang.
"Pelabuhan Cirebon merupakan pelabuhan yang memiliki peran strategis dalam hal perdagangan sejak masa Syekh Syarif Hidayatullah masih berkuasa," kata Mahrus saat berbincang-bincang dengan Republika.co.id, Selasa (25/6) malam.
Dia menceritakan, pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, Cirebon dikenal juga sebagai Jalur Sutra. Adanya Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional.
Pelabuhan yang ramai dan perannya sebagai jalur utama transportasi yang menghubungkan wilayah-wilayah lain menyebabkan masyarakat Cirebon tampil dengan keterbukaan. Cirebon menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan dan pemikiran yang pernah melintasi wilayah tersebut.
Menurut Mahrus, sikap yang terbuka seperti itu juga terdapat dalam diri Syekh Syarif Hidayatullah selama memimpin di Cirebon. Pusat Kesultanan Cirebon berada di Keraton Pakungwati (sekarang berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan).
"Di istana itulah Syekh Syarif Hidayatullah memulai, membangun dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai dengan pengunduran dirinya," terang Mahrus.
Ia menerangkan, pada masa lalu kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang niaga pernah meramaikan pelabuhan Cirebon.
Pemandangan seperti itu masih dapat ditemui hingga saat ini. Pada sore hari, dapat disaksikan puluhan kapal besar tengah bersandar di dermaga. Namun, perkembangan pelabuhan paling pesat terjadi pada abad ke-19 bersamaan dengan berlangsungnya era kolonialisme.
Mahrus juga menyampaikan, menurut Singgih Tri Sulistiono, penyebaran Islam ke daerah Babadan, Kuningan, Indramayu dan Karawang terjadi dengan damai tanpa kekerasan. Mungkin langkah tersebut bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk memperkuat posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran. Caranya dengan menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber penghasil komoditas perdagangan seperti beras dan kayu. Daerah pedalaman juga menjadi tempat mensuplai barang-barang dari luar.