Rabu 26 Jun 2019 16:12 WIB

Soal Dana Bank Dunia untuk Madrasah, Ini Kata Pengamat

Kalaupun dana Bank Dunia jadi dipinjam, pengamat meminta madrasah swasta diperhatikan

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Madrasah (ilustrasi)
Foto: blogspot.com
Madrasah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) bekerja sama dengan Bank Dunia untuk mendongkrak kualitas madrasah swasta dan negeri melalui dana pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Jika kerja sama itu terealisasi, Kemenag akan diminta membangun madrasah negeri dan swasta secara merata.

Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menyarankan agar hasil pinjaman dari Bank Dunia digunakan secara merata untuk madrasah negeri dan swasta. Peningkatan sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana di madrasah negeri dan swasta perlu dilakukan secara bersamaan dan merata.

Baca Juga

"Saya melihat kebijakan yang diambil (Kemenag) selama ini lebih memprioritaskan kepada madrasah negeri, melupakan madrasah swasta, apalagi madrasah negeri pun hanya terbatas pada madrasah negeri insan cendekia," kata Jejen kepada Republika, Selasa (25/6).

Pengamat pendidikan Islam dari UIN tersebut mengaku tidak setuju membangun madrasah dengan meminjam uang ke Bank Dunia. Sebab, masih ada dana lain yang bisa digali dan dimanfaatkan.

Namun, kalaupun nanti dana pinjaman dari Bank Dunia diwujudkan, Jejen mengingatkan sebaiknya pemerintah mengurangi dikotomi madrasah negeri dan swasta.

Artinya, dia menjelaskan, madrasah swasta harus diperhatikan dan dibantu pemerintah dalam banyak skema. Seperti pemberian guru negeri ke madrasah swasta, pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Maka dengan demikian madrasah negeri dan swasta akan punya standar yang sama.

"Sebab selama ini ada jurang yang tinggi antara madrasah negeri dengan madrasah negeri, apa lagi dengan madrasah swasta, padahal kita tahu tidak semua anak bangsa punya akses ke madrasah negeri," jelasnya.

Mengenai jurang pemisah yang tinggi antara madrasah negeri dan swasta, menurut Jejen dalam hal tenaga pengajar. Di madrasah negeri ada guru negeri dan sedikit guru honorer. Sementara di madrasah swasta kebanyakan guru honorer. Kalau banyak guru honorer di madrasah maka dapat dipastikan mutu SDM di sana sangat rendah.

"Kemudian dalam segi sarana dan prasarana, saya pernah empat tahun proyek bersama Australia mengunjungi madrasah di Jakarta, Bogor, Bekasi itu kondisi sarana dan prasarananya sangat memprihatinkan, kita berkesimpulan negara tidak hadir untuk membantu madrasah swasta," ujarnya.

Ia menegaskan, dalam membangun madrasah negeri dan swasta tidak bisa prioritas membangun sisi sumber daya manusianya sebelum membangun sarana dan prasarana. Jadi pada waktu yang bersamaan memberikan beasiswa S2 kepada guru-guru madrasah sambil memperbaiki sarana dan prasarana madrasah. Semuanya dilakukan bersamaan.

"Saya menduga selama ini kue di Kementerian Agama hanya dinikmati oleh madrasah punya ormas tertentu, saya menduga itu dan tidak lagi harus seperti itu (kedepannya)," ujarnya.

Sebelumnya, Jejen menilai, selama ini Kemenag tampak memprioritaskan pembangunan madrasah negeri insan cendekia yang dibangun di provinsi-provinsi. Kebijakan tersebut berdampak kepada tidak meratanya kualitas madrasah.

Jadi, Kemenag membangun madrasah model atau favorit sebagai madrasah percontohan. Tentu kebijakan tersebut setidaknya menganaktirikan pemerataan pendidikan madrasah di internal madrasah negeri dan swasta. "Karena uang negara banyak masuk ke sedikit madrasah tapi berkualitas," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement