Sabtu 22 Jun 2019 19:00 WIB

Islam Sudah Membudaya di Betawi

Islam telah tertanam dalam kehidupan dan interaksi warga Betawi

Kunjungan mahasiswa Universitas Deakin Australia, Universitas Bina Nusantara Indonesia, dan Universitas Islam Internasional Malaysia ke Situ Babakan, Jakarta Barat.  (foto: Universitas Deakin)
Kunjungan mahasiswa Universitas Deakin Australia, Universitas Bina Nusantara Indonesia, dan Universitas Islam Internasional Malaysia ke Situ Babakan, Jakarta Barat. (foto: Universitas Deakin)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam dan Betawi bak asap dan api. Islam telah tertanam dalam kehidupan dan interaksi warga Betawi sejak lama. Ulama asli Betawi KH Ah mad Luthfi Fathullah menjelaskan, Islam di Betawi merupakan sebuah budaya yang dibangun turun menurun. Menurut dia, ini terbukti dari banyaknya tulisan, penelitian, serta realita di lapangan.

"Orang mengatakan bahwa Betawi sama dengan Islam. Orang Beta wi ya orang Islam. Sekalipun ada nol koma sekian persen yang non-Muslim, tapi itu tidak mewakili orang Betawi secara keseluruhan," ujar dia kepada Republika, belum lama ini.

Bagi Kiai Luthfi, Islam dan Betawi sudah menyatu bagai budaya dan tradisi. Saking lekatnya, ia me lnyebut, banyak anak Betawi dahulu yang lebih diajarkan mengaji dibandingkan sekolah. Kiai Luthfi sendiri lebih dahulu mengenal hijaiyah di ban ding huruf latin. Tak hanya itu, anak-anak Betawi juga dikenalkan dengan kitab sifat 20 yang isinya tentang akidah Islam.

Islam di Betawi merupakan budaya yang datang dari turunan keluarga. Sejak kecil, mereka sudah dibekali dengan ilmu pengetahuan agama yang baik dan jelas. Setiap anak di keluarga Betawi diharuskan belajar mengaji dan agama lewat kitab-kitab yang ada. Diawali dengan kitab sifat 20, berlanjut ke kitab rawi atau seja rah sirah Nabi Muhammad SAW.

 

"Kita ada kultur agama yang kuat. Salah satunya tidak ada orang Betawi yang tidak Maulidan. Orang Betawi tidak ada yang tidak tahu ra wian atau sejarah Nabi Muhammad SAW," lanjut dia.

Contoh lainnya, kedekatan Be tawi dengan Islam terlihat dari citacita yang dimiliki tiap masyarakatnya. Gambaran ini ditunjukkan de ngan jelas, salah satunya, dalam film Si Doel Anak Sekolah. Film itu meng gambarkan jika sebuah keluarga menginginkan untuk bisa naik haji. Keinginan ini tidak mungkin muncul jika tidak didasari oleh ilmu dan agama yang kuat di dalamnya. Ulama Betawi pun hidup menyebar.

Di setiap pojok Jakarta, ada guru-gu ru yang biasa dijadikan panutan da lam belajar agama. Kiai Luthfi me nyebut, di daerah selatan ada Guru Mughni dan Guru Mahali, di wilayah timur ada Guru Marzuki. Sementara, di barat ada Guru Mansur dan Guru Madjid. Kepada mereka, orang Beta wi yang tinggal di sekitarnya belajar agama dan mengaji, lalu melahirkan kiai dan ustaz.

Ia pun menyebut, masing-masing guru memiliki keistimewaan dan ilmu tersendiri. Ada peran habib di dalamnya. Salah satunya, Habib Utsman bin Yahya yang karangannya banyak digunakan oleh para ulama Betawi. Habib Utsman merupakan mufti Betawi zaman Belanda yang melahirkan lebih dari 100 kitab.

Begitu pula, para guru lainnya. Meski mesin cetak sangat terbatas, mereka masih mampu untuk ber kar ya. Guru Mughni disebut memiliki dua karya yang dicetak sendiri lewat kitab Taudhihul Adillah, yakni buku terjemahan As Syamail Al-Muham madiyah dan kitab Adab Hamalatil Quran yang isinya tentang etika berinteraksi dengan Alquran.

Selain itu, Syekh Salim bin Sumair dengan kitab Safinatun Naja. Syekh Muhammad Muhadjirin Am sar Ad-Darry kitabnya berjudul Mis bahuz Zhulam. Sementara, Guru Manshun Jembatan Lima memiliki kitab berjudul Sullamun Nayrain tentang ilmu falak.

"Kalau kita lihat, dengan luasnya kawasan Ibu Kota, arus urbanisasinya kencang sekali. Pertempuran ekonomi dan sosial sangat kuat. Lalu, kenapa suasana agamanya terasa sangat kental? Ini karena orangnya yang berprinsip agamanya yang kuat. Mereka rela berkorban dengan agama. Di Jakarta banyak masjid, salah satunya karena wakaf orang Betawi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement