REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nasiruddin
"Sesungguhnya (ibadah) di waktu malam akan sangat membekas dan akan lebih teguh ucapannya" (QS 73: 6).
Bagi sebagian besar orang, malam merupakan waktu untuk tidur dan beristirahat. Mereka telah menarik diri dari pergaulan sosial dan pekerjaannya, lantas masuk ke dalam lapis kehidupan pribadinya yang sedikit-banyak bersifat rahasia bagi orang lain.
Jika seseorang tidak beristirahat di waktu malam menandakan demikian pentingnya sesuatu itu atau besarnya tekad yang dipunyai. Artinya, apa pun yang dilakukan seseorang di malam hari akan menegaskan urgensinya ataupun menegaskan ''warna dasar'' kepribadian orang itu, baik warna yang jahat maupun warna baiknya.
Sebaliknya, seseorang tanpa aktivitas signifikan di malam hari akan hanya biasa-biasa saja alias kehidupannya nyaris tanpa renungan mendalam, tanpa sikap yang prinsipil, tanpa tekad kuat, dan tanpa penegasan warna kepribadiannya.
Ayat ke-6 surah al-Muzzammil di atas, secara tegas menerangkan kelebihan waktu malam dibandingkan waktu yang lain.
Secara kuantitatif, Alquran memberikan perhatian lebih dengan pemakaian kata al-lail (malam) beserta kata turunannya sebanyak 92 kali. Bisa dibandingkan dengan pemakaian kata an-nahar (siang) yang sebanyak 57 kali, juga pemakaian kata as-subh (subuh) sebanyak 45 kali, kata al-fajr (fajar) 24 kali, kata ad-dhuha (matahari sepenggalah naik) tujuh kali, dan kata al-'ashr (asar) lima kali, disebut dalam keseluruhan ayat Alquran.
Konteksnya tentu saja berbeda-beda, namun bisa dipahami jika faktor kuantitas ini pun sejajar dan menyiratkan kualitasnya.
Malam memang lebih bersuasana perenungan, pendalaman, dan spiritual. Wajar jika aktivitas seseorang di malam hari akan lebih berkesan, tahan lama, berjiwa, dan lebih signifikan dalam memberikan warna kepribadian dan jalan hidup seseorang.
Lebih-lebih jika aktivitas peribadatan seperti shalat. Janji Allah SWT kepada hamba-Nya yang menghidupkan malamnya dengan shalat tahajud dan amalan nafilah (sunat) lainnya adalah tempat terpuji (QS 17: 79).
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membagi waktu malam menjadi tiga. Sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk shalat, dan sepertiga berikutnya untuk amalan wirid yang sesuai jalan hidup (profesi) pilihan seseorang.
Untuk mereka yang melewati jalan ilmu, sepertiga malam sebagai amalan-wirid ini diisi dengan kegiatan membaca dan menulis buku bagi alim ulama ataupun menyalin dan memahami ilmu yang ditekuni bagi para pelajarnya. Pasti akan berbeda kegiatan orang yang melewati jalur lain, semisal jalan-politik, jalan-dagang, jalan-budaya, jalan-jasa, dan lain-lain.
Wallahu a'lam bis-shawab.