REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nasiruddin
"Janganlah engkau mengeraskan suara dalam shalatmu dan jangan pula melemahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya" (QS 17: 110).
Sungguh menantang untuk bisa menemukan keberimbangan yang tepat atas keras-lemahnya suara dalam shalat. Dan, pasti akan lebih kudus dan efektif lagi jika bisa menyelaraskan antara kecepatan lidah dalam mengucapkan kata-kata dengan kemampuan akal dalam mengeja artinya serta kesadaran hati dalam menangkap dan merasakan nuansa maknanya.
Terbangunlah kemudian kepaduan segenap perhatian, ingatan, bahkan khayalan seseorang pada tuturan kata yang diucapkan lidah, didengarkan telinga, diresapi hati, dirasakan hidung, disaksikan mata, dan segenap organ yang lain.
Ucapan dan gerakan dalam shalat memang sudah diatur dan ditetapkan, yang semuanya itu menyiratkan ekspresi formal kekaguman yang mendalam dari manusia kepada Khalik.
Baik secara kata per kata, bagian per bagian, maupun secara keseluruhan kita bisa mengkaji maksud tersirat shalat ini yang tentunya akan kontradiktif bila dilakukan oleh seseorang tanpa kerendahan hati dan ketundukan. Seseorang bisa saja menjalankan ritus shalat ini tanpa penjiwaan, tanpa kepaduan dan keselarasan itu, tetapi hanya pada tataran formalitas saja yang akan dicapainya.
Kehadiran hati dan keikutsertaan akal pikiran pada pengucapan bacaan sebagai kata kunci dari kekhusyukan shalat memang tidak bisa serta-merta ada dan tidak secara otomatis terjadi. Ikhtiar untuk ini selain berupa penguasaan akan muatan makna masing-masing bacaan juga bisa faktor di luar shalat seperti motivasi dan mood.
Jika hal-hal itu bisa diadakan maka prosesi shalat tidak lagi sekadar ''presensi rutin'' atas bertambahnya usia ataupun ''terpaksa'' memenuhi kewajiban, tetapi secara bergairah akan ada penyiapan diri karena merasa butuh akan shalat itu. Maka, jalan menuju kekhusyukan shalat pun akan lurus dan terjaga.
Sahabat Ali bin Abi Thalib konon telah memilih waktu saat beliau shalat untuk orang mencabutkan mata panah yang menancap di punggungnya. Baginya, saat shalat merupakan saat tepat karena semata-mata hanya ingat Allah SWT dengan ''melupakan'' hal-hal lain termasuk rasa sakit di punggungnya.
Untuk bisa sampai pada keadaan seperti Ali bin Abi Thalib itu, kesadaran yang menyemesta, seseorang sudah seharusnya meniadakan faktor pengganggu shalat. Pernah seorang sahabat diminta Nabi untuk terlebih dulu mengikatkan tali untanya pada tempat yang tersedia sebelum shalat.
Kita memang diminta untuk mengamankan harta milik kita, juga ''mematikan'' sementara segala urusan lain agar konsentrasi shalat mudah dibangun. Tidak kalah pentingnya adalah kesucian pakaian dan tempat, kesempurnaan wudhu, serta penciptaan suasana dan keadaan yang membangun konsentrasi shalat.
Jika saat-saat ini kita peringati Isra' Mi'raj Nabi Muhammad saw, maka yang juga perlu ditegaskan adalah hasilnya berupa perintah shalat lima waktu. Dan, ikhtiar kita agar shalat tidak jatuh sekadar formalitas adalah pada penciptaan kekhusyukannya, penghadiran hati, dan pengikutsertaan akal pikiran. Wallahu a'lam bis shawab.