REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Rifai
Perhatian Rasulullah SAW terhadap masa depan umatnya sangat besar. Wujud perhatian beliau terefleksikan dalam banyak hal. Salah satunya dalam redaksi doa yang beliau ajarkan.
Salah satu doa yang sering beliau panjatkan adalah, "Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia." (HR Muslim dan Ahmad).
Doa Rasulullah di atas menyiratkan dua tipikal pejabat yang akan selalu mengisi kehidupan ini. Ada pejabat yang menyusahkan rakyatnya dan ada pula yang memudahkan mereka.
Pejabat yang memudahkan rakyatnya akan mendapatkan doa kemudahan dari beliau. Sebaliknya, pejabat yang menyusahkan rakyatnya akan mendapatkan doa supaya ia disusahkan. Kemudahan dan kesusahan yang dimaksud dalam hadis tadi bersifat umum, mencakup dunia-akhirat.
As-Shan'ani berkata, "Kesusahan dalam hadis, mencakup kesusahan duniawi dan ukhrawi."
Di antara bentuk kesusahan yang akan diterima oleh pejabat disebutkan dalam hadis lain. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Ra sulullah menjawab, 'Laknat Allah' (HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).
Orang yang dilaknat oleh Allah akan tersingkir dari pusaran rahmat dan kasih sayang-Nya. Padahal, jabatan adalah amanah yang sangat berat. Tak mungkin tertunaikan kecuali dengan bantuan dan pertolongan Allah. Pejabat itu bakal dikenang oleh rakyatnya sebagai pemimpin yang gagal. Pejabat seperti itu justru menjadi sasaran kemarahan rakyatnya.
Yang lebih mengerikan lagi, kesulitan itu akan terus berlanjut di akhirat. "Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga." (Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya, jika seorang pejabat bisa memberikan kemudahan (yang tidak melanggar syariat), maka ia juga akan mendapatkan kemudahan berupa pertolongan Allah.
Bila pertolongan Allah sudah mengucur maka segala sesuatu akan terasa mudah. Kehidupan sang pemimpin juga akan selalu dinaungi dengan ketenangan. Rakyat mencintainya dan Allah mengasihinya. Di akhirat kelak akan mendapatkan penghargaan yang sangat istimewa dari Allah.
Oleh karena itu, sebenarnya hikmah di balik disyariatkannya kepemimpinan, yaitu untuk mempermudah urusan umat, bukan untuk membuat umat bertambah susah dengan permasalahan yang menimpanya.